Pontianak (Antaranews Kalbar) - Sebanyak 30 kelompok tampil menyajikan hidangan saprahan dalam Festival Saprahan yang digelar Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kota Pontianak di Pontianak Convention Center, Rabu, dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Pontianak ke-247.
Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono di sela acara mengatakan, Festival Saprahan ini sudah selayaknya memiliki standarisasi, baik cara penyajiannya, penampilannya, peralatan makannya, hingga makanan yang dihidangkan.
"Kita akan menetapkan SOP saprahan supaya memiliki standar, misalnya jenis makanan yang wajib dihidangkan, makanan tambahan, pakaian pembawa saprahan dan sebagainya," ujarnya.
Edi menilai, dari tampilan dan rasa makanan yang disajikan oleh peserta dalam saprahan (tradisi makan bersama) sudah semakin baik.
Pada acara tersebut, satu persatu peserta dengan memakai pakaian khas Melayu Pontianak, baju kurung, memasuki area yang sudah disiapkan panitia, kemudian mereka membawa berbagai hidangan dan menatanya di atas lantai yang beralaskan kain.
Paceri nanas yang menjadi hidangan menonjol dalam saprahan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Meskipun budaya saprahan secara umum juga ada di daerah lain di wilayah Kalbar, namun Edi menegaskan, ada beberapa perbedaan dengan Saprahan Melayu Pontianak.
"Beberapa perbedaan, misalnya cara menghidangkannya, makanannya maupun penampilan pembawa saprahan," katanya.
Edi berharap, Festival Saprahan yang rutin digelar setiap tahun ini bisa memberikan edukasi kepada masyarakat terutama generasi muda sehingga mereka bisa ikut melestarikan budaya saprahan ini.
Sementara itu, Gubernur Kalbar, Sutarmidji menuturkan, saprahan sudah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kemendikbud.
Selain saprahan, ia juga menyerahkan empat sertifikat budaya yang telah ditetapkan sebagai warisan tak benda, di antaranya, paceri nanas, sayok keladi, kain tenun corak insang dan arakan pengantin.
"Kuliner ini menjadi pilihan wisata di suatu daerah maka kita harus melindungi hasil karya, hasil cipta kita agar tidak diklaim oleh orang lain," tegasnya.
Makan Saprahan merupakan adat istiadat budaya Melayu. Berasal dari kata "Saprah yang artinya berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan bersila di atas lantai secara berkelompok yang terdiri dari enam orang dalam satu kelompoknya.
Dalam makan Saprahan, semua hidangan makanan disusun secara teratur di atas kain saprah. Sedangkan peralatan dan perlengkapannya mencakup kain Saprahan, piring makan, kobokan beserta serbet, mangkok nasi, mangkok lauk pauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman.
Untuk menu hidangan di antaranya, nasi putih atau nasi kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur paceri nanas atau terong, selada, acar telur, sambal bawang dan sebagainya. Kemudian untuk minuman yang disajikan adalah air serbat berwarna merah.
Plt Ketua TP PKK Kota Pontianak, Yanieta Arbiastuti menjelaskan, peserta Festival Saprahan ini berusia maksimal 40 tahun. "Ini dimaksudkan supaya kaum muda lebih paham dan mengenal serta melestarikan nilai-nilai budaya makan saprahan Kota Pontianak," jelasnya.
Untuk kriteria penilaian, kata dia, selain rasa makanan yang dihidangkan, kekompakan, penampilan peserta dan lainnya juga menjadi aspek penilaian dewan juri.
Dengan festival yang diikuti kader-kader PKK se-Kota Pontianak ini, dirinya berharap para peserta memahami dan mengetahui bagaimana penyajian saprahan yang sesuai dengan adat-istiadat Melayu Pontianak.
Dari 30 kelompok peserta yang berasal dari 29 kelurahan, Kelurahan Benua Melayu Laut berhasil merebut juara pertama. Disusul juara kedua dari Kelurahan Darat Sekip dan ketiga Kelurahan Saigon. Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah berupa trofi dan uang tunai.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018
Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono di sela acara mengatakan, Festival Saprahan ini sudah selayaknya memiliki standarisasi, baik cara penyajiannya, penampilannya, peralatan makannya, hingga makanan yang dihidangkan.
"Kita akan menetapkan SOP saprahan supaya memiliki standar, misalnya jenis makanan yang wajib dihidangkan, makanan tambahan, pakaian pembawa saprahan dan sebagainya," ujarnya.
Edi menilai, dari tampilan dan rasa makanan yang disajikan oleh peserta dalam saprahan (tradisi makan bersama) sudah semakin baik.
Pada acara tersebut, satu persatu peserta dengan memakai pakaian khas Melayu Pontianak, baju kurung, memasuki area yang sudah disiapkan panitia, kemudian mereka membawa berbagai hidangan dan menatanya di atas lantai yang beralaskan kain.
Paceri nanas yang menjadi hidangan menonjol dalam saprahan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Meskipun budaya saprahan secara umum juga ada di daerah lain di wilayah Kalbar, namun Edi menegaskan, ada beberapa perbedaan dengan Saprahan Melayu Pontianak.
"Beberapa perbedaan, misalnya cara menghidangkannya, makanannya maupun penampilan pembawa saprahan," katanya.
Edi berharap, Festival Saprahan yang rutin digelar setiap tahun ini bisa memberikan edukasi kepada masyarakat terutama generasi muda sehingga mereka bisa ikut melestarikan budaya saprahan ini.
Sementara itu, Gubernur Kalbar, Sutarmidji menuturkan, saprahan sudah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kemendikbud.
Selain saprahan, ia juga menyerahkan empat sertifikat budaya yang telah ditetapkan sebagai warisan tak benda, di antaranya, paceri nanas, sayok keladi, kain tenun corak insang dan arakan pengantin.
"Kuliner ini menjadi pilihan wisata di suatu daerah maka kita harus melindungi hasil karya, hasil cipta kita agar tidak diklaim oleh orang lain," tegasnya.
Makan Saprahan merupakan adat istiadat budaya Melayu. Berasal dari kata "Saprah yang artinya berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan bersila di atas lantai secara berkelompok yang terdiri dari enam orang dalam satu kelompoknya.
Dalam makan Saprahan, semua hidangan makanan disusun secara teratur di atas kain saprah. Sedangkan peralatan dan perlengkapannya mencakup kain Saprahan, piring makan, kobokan beserta serbet, mangkok nasi, mangkok lauk pauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman.
Untuk menu hidangan di antaranya, nasi putih atau nasi kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur paceri nanas atau terong, selada, acar telur, sambal bawang dan sebagainya. Kemudian untuk minuman yang disajikan adalah air serbat berwarna merah.
Plt Ketua TP PKK Kota Pontianak, Yanieta Arbiastuti menjelaskan, peserta Festival Saprahan ini berusia maksimal 40 tahun. "Ini dimaksudkan supaya kaum muda lebih paham dan mengenal serta melestarikan nilai-nilai budaya makan saprahan Kota Pontianak," jelasnya.
Untuk kriteria penilaian, kata dia, selain rasa makanan yang dihidangkan, kekompakan, penampilan peserta dan lainnya juga menjadi aspek penilaian dewan juri.
Dengan festival yang diikuti kader-kader PKK se-Kota Pontianak ini, dirinya berharap para peserta memahami dan mengetahui bagaimana penyajian saprahan yang sesuai dengan adat-istiadat Melayu Pontianak.
Dari 30 kelompok peserta yang berasal dari 29 kelurahan, Kelurahan Benua Melayu Laut berhasil merebut juara pertama. Disusul juara kedua dari Kelurahan Darat Sekip dan ketiga Kelurahan Saigon. Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah berupa trofi dan uang tunai.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018