Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata (Asita) Kalimantan Barat, Nugroho Henray Ekasaputra menyesalkan ada praktik calo di area Bandara Internasional Supadio Pontianak di Kubu Raya.
“Ada konsumen dari anggota kami awalnya mau pesan tiket melalui agen perjalanannya. Namun di sistem sudah tidak ada. Ketika konsumen nya ke bandara, ditawarkan calo dan tiket nya ada.Pertanyaannya adalah di sistem maskapai tidak ada, kok di bandara ada ya. Aturan beli tiket di bandara kan tidak boleh,” ujarnya di Pontianak, Selasa.
Pihaknya berharap ada tindakan tegas dari pengelola Bandara Supadio terhadap praktik ini. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, praktik calo tiket di bandara sudah jarang terjadi. Hal ini akibat pemberhentian loket tiket pesawat terbang di kawasan bandara sejak tahun 2015.
Menurutnya pemberlakuan aturan tersebut dapat membantu para agen travel yang selama ini merasa dirugikan oleh ulah para spekulan. Para spekulan atau calo tersebut sering beroperasi di sekitar kawasan bandara.
“Dulu ada permainan antara para calo dengan para penjual tiket di bandara. Tetapi sekarang saya tidak tahu seperti apa,” imbuh nya.
Tambahnya, kebijakan penutupan loket bandara ini juga diimbangi dengan pengawasan ketat terhadap aktivitas percaloan. Pasalnya, bisa saja calo membeli tiket di luar, lalu menjualnya di sekitar bandara. Para penjual tiket ilegal ini, kata dia, sangat merugikan industri jasa travel. Lebih-lebih kepada para calon penumpang.
“Mereka memanfaatkan kepanikan dari para calon penumpang yang kehabisan tiket. Karena harus mudik atau balik ke tempat asal pada waktu yang tepat, maka mereka terpaksa harus membeli tiket calo yang harganya jauh di atas harga normal. Sementara bagi kami, tiket di sistem sudah tidak tersedia. Tetapi kenyataannya, para calo masih punya tiket itu. Padahal kami resmi dan menjual dengan harga pasar,” kata dia.
Selain persoalan calo, Asita Kalbar juga mendesak pemerintah untuk segera mencari solusi tingginya harga angkutan udara belakangan ini.
Henray melihat, lalu lintas domestik yang hanya didominasi dua grup besar maskapai nasional berpotensi menjadi bisnis kartel. Dia setuju dengan wacana dibukanya pintu masuk bagi maskapai asing, agar terjadi persaingan sehingga harga lebih kompetitif.
“Kalau ada yang tidak ingin maskapai asing masuk, maka berikan solusi yang konkret. Seperti apa harga bisa turun. Tetapi kami melihat sekarang ini, kenaikan harga tiket lebih dikarenakan adanya duopoli. Bandingkan ketika dulu banyak maskapai yang bermain. Sekarang hanya ada dua grup besar saja,” jelas dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
“Ada konsumen dari anggota kami awalnya mau pesan tiket melalui agen perjalanannya. Namun di sistem sudah tidak ada. Ketika konsumen nya ke bandara, ditawarkan calo dan tiket nya ada.Pertanyaannya adalah di sistem maskapai tidak ada, kok di bandara ada ya. Aturan beli tiket di bandara kan tidak boleh,” ujarnya di Pontianak, Selasa.
Pihaknya berharap ada tindakan tegas dari pengelola Bandara Supadio terhadap praktik ini. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, praktik calo tiket di bandara sudah jarang terjadi. Hal ini akibat pemberhentian loket tiket pesawat terbang di kawasan bandara sejak tahun 2015.
Menurutnya pemberlakuan aturan tersebut dapat membantu para agen travel yang selama ini merasa dirugikan oleh ulah para spekulan. Para spekulan atau calo tersebut sering beroperasi di sekitar kawasan bandara.
“Dulu ada permainan antara para calo dengan para penjual tiket di bandara. Tetapi sekarang saya tidak tahu seperti apa,” imbuh nya.
Tambahnya, kebijakan penutupan loket bandara ini juga diimbangi dengan pengawasan ketat terhadap aktivitas percaloan. Pasalnya, bisa saja calo membeli tiket di luar, lalu menjualnya di sekitar bandara. Para penjual tiket ilegal ini, kata dia, sangat merugikan industri jasa travel. Lebih-lebih kepada para calon penumpang.
“Mereka memanfaatkan kepanikan dari para calon penumpang yang kehabisan tiket. Karena harus mudik atau balik ke tempat asal pada waktu yang tepat, maka mereka terpaksa harus membeli tiket calo yang harganya jauh di atas harga normal. Sementara bagi kami, tiket di sistem sudah tidak tersedia. Tetapi kenyataannya, para calo masih punya tiket itu. Padahal kami resmi dan menjual dengan harga pasar,” kata dia.
Selain persoalan calo, Asita Kalbar juga mendesak pemerintah untuk segera mencari solusi tingginya harga angkutan udara belakangan ini.
Henray melihat, lalu lintas domestik yang hanya didominasi dua grup besar maskapai nasional berpotensi menjadi bisnis kartel. Dia setuju dengan wacana dibukanya pintu masuk bagi maskapai asing, agar terjadi persaingan sehingga harga lebih kompetitif.
“Kalau ada yang tidak ingin maskapai asing masuk, maka berikan solusi yang konkret. Seperti apa harga bisa turun. Tetapi kami melihat sekarang ini, kenaikan harga tiket lebih dikarenakan adanya duopoli. Bandingkan ketika dulu banyak maskapai yang bermain. Sekarang hanya ada dua grup besar saja,” jelas dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019