Sekitar 16 tahun yang lalu, seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kota Kediri, Jawa Timur, yang ditugaskan oleh dosennya untuk memberikan kultum (kuliah tujuh menit) sempat mengkritisi salah satu doa yang saya baca usai shalat tarawih.

"Sepertinya di setiap tarawih ada doa yang tidak realistis dengan kondisi sekarang," komentar mahasiswa semester itu mengawali kuliah singkatnya di depan puluhan anggota jamaah shalat tarawih.

"Benar nggak?" ucapnya meminta persetujuan dari saya yang pada malam itu secara kebetulan mendapat giliran mengimami shalat tarawih 20 rakaat di surau kecil tak jauh dari Alun-alun Kota Kediri.

"Hari gini berdoa agar zuhud? Apa kata dunia?" ujarnya lagi tanpa dibarengi argumentasi yang mu'tabar untuk menggugat doa yang sangat populer di kala bulan puasa itu.

Saya bisa memaklumi cara berpikir si mahasiswa yang kebetulan saya mengenalnya karena hampir di setiap aksi mahasiswa, namanya selalu saya kutip dalam pemberitaan.

Bisa jadi malam itu dia sedang memrotes Tuhannya seperti saat tampil di depan sebagai orator jalanan yang paling lantang memprotes berbagai kebijakan pemerintah daerah soal tata kota.

Doa kamilin yang lazim dibaca setiap usai tarawih rakaat terakhir atau menjelang shalat witir itu tidak bisa disamakan dengan peraturan daerah yang bisa direvisi, meskipun doa itu bukanlah kitab suci.

Tidak ada yang salah dengan doa kamilin, walaupun mungkin saja tidak realistis dengan situasi pada saat itu.

Doa kamilin bersifat universal. Bahkan dibaca selain bulan Ramadhan pun sah-sah saja.

Mari kita simak kutipan doa itu: Allahumma-j'alnaa bil-imani kamilin. Wa li faraidlika mu'addin. Wa lish-shalati hafidhin. Wa liz-zakati fa'ilin. Wa lima 'indaka thalibin. Wa li 'afwika raajin. Wa bil-huda mutamassikin. Wa 'anil-laghwi mu'ridlin. Wa fid-dunya zahidin. Wa fil akhirati raghibin. Wa bil-qadla'i radlin. Wa lin na'ma'i syakirin. Wa 'alal bala'i shabirin. Wa tahta liwa'i sayyidina muhammadin shallallahu 'alaihi wasallam yaumal qiyamati sa'irin wa ilal haudli waridin. Wa ilal jannati dakhilin. Wa min sundusin wa istabraqin wadibajin mutalabbisin.
Wa min tha'amil jannati akilin. Wa min labanin wa 'asalin mushaffan syaribin. Bi akwabin wa abariqa wa ka'sin min ma'in. Ma'al ladzina an'amta 'alaihim minan nabiyyina wash shiddiqina wasy-syuhada'i wash shalihina wa hasuna ula'ika rafiqan.


Yang artinya: Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban- kewajiban, yang memelihara salat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu, yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad SAW, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutera, yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik.

Kata "kamilin" di kalimat pembuka merepresentasikan untaian doa yang relatif panjang itu dengan sebutan doa kamilin sebagai bentuk pengharapan hamba kepada Tuhannya agar menjadi insan yang sempurna (kamil), utamanya dalam hal keimanan.

Ya doa kamilin, bukan doa tarawih karena substansi permohonannya relatif lengkap, mencakup aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Kenikmatan, kekuatan, dan kesulitan menjadi satu kesatuan yang komplet dalam doa tersebut.

Lalu dimana kira-kira dari untaian doa itu yang tidak realistis, tidak relevan dengan situasi sekarang?

Bukankah kita tergolong hamba yang kadar imannya terkadang bertambah, terkadang pula berkurang?

Apa yang salah dengan doa itu ketika memang kita mendambakan sebagai insan dengan iman yang sempurna dan tentu saja tidak melulu memikirkan duniawi dengan mengabaikan hal-hal yang bersifat ukhrowi?

Justru situasi saat ini, ketika seluruh permukaan di dunia ini sedang dilanda pandemi, hanya ada kepasrahan dan harapan agar tetap diberi ketabahan dan kesabaran.

Terlebih di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, bulan suci yang penuh ampunan, sehingga apapun doa shahih untuk
dipanjatkan.

Asal-usul
Jika ditelusuri lebih jauh, asal-usul doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini ternyata termaktub dalam kitab-kitab doa ulama, salah satunya Majmu'ah Maqruat Yaumiyah wa Usbuiyyah karya pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih.

Pada lembar pengantar, sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma'shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa Al Fadani.

KH Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (ijazah munawalah).

Secara harfiah, doa adalah permintaan dari hamba kepada Tuhannya atau permohonan dari bawah ke atas. Kebalikan dari perintah (amar) yang merupakan komando dari atas ke bawah.

Selain permohonan, doa juga merepresentasikan ekspresi ketundukan, kepasrahan, dan kerendahan hati di hadapan Ilahi.

Oleh sebab itu, berdoa ada adabnya. Imam Abu Bakr Muhammad bin Al Walid At-Thurthusyi Al Andalusi dalam kitabnya Ad-Dua' Al Ma'tsurat wa Adabuhu wa Ma Yajibu 'alad-Dâ'i Ittib'uhu wa Ijtinabuhu meneladani Nabi Ibrahim AS dalam berdoa yang selalu mengawalinya dengan puji-pujian kepada Allah.

Dalam kitab yang ditulis sekitar satu setengah abad sebelum Al Adzkar karya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Imam Abu Bakr menjelaskan soal adab-adab berdoa kepada Allah.

"Sebagian dari adab berdoa, kau harus mengetahui cara para nabi, rasul, dan wali yang saleh. (Jika) hendak memohon hajat kepada Tuhannya, mereka bergegas (menyiapkan diri) sebelum meminta, bersimpuh di hadapan Tuhannya, menata (posisi) kaki, membentangkan telapak tangan, mengalirkan air mata di pipi mereka. Kemudian, mereka memulainya dengan tobat dari kemaksiatan dan membebaskan (diri) dari pelanggaran, memasukkan kekhusyu’an di hati mereka yang terdalam." (Ad-Dua' Al Ma'tsurat wa Adabuhu wa Ma Yajibu 'alad-Dâ'i Ittib'uhu wa Ijtinabuhu).

Dalam surat As-Syu'ara' ayat 78-82 dijelaskan: "(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakanku, dan Dialah yang memberi petunjuk (kepada) ku. Dan Tuhan yang memberi makan dan minum kepadaku. Dan ketika aku sakit, Dia menyembuhkanku. Dan Tuhan yang akan mematikanku, kemudian menghidupkanku (kembali). Dan Tuhan yang sangat kuinginkan mengampuni kesalahanku di hari kiamat (kelak)."

Ayat tersebut merupakan ucapan Nabi Ibrahim sebelum berdoa kepada Allah, karena di ayat berikutnya Nabi Ibrahim berdoa "rabbi hab lî hukman wa alhiqni bish shalihin" (Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh).

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020