Seorang warga di Desa Ngadirejo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, Jawa Timur melakukan budi daya cacing jenis "lumbricus rubellus" hingga mampu beromzet jutaan rupiah tiap bulannya seiring tingginya permintaan hewan invertebrata tersebut.
"Saya mulai budi daya cacing jenis lumbricus rubellus baru pada bulan Juli tahun 2020. Usaha ini asya pilih karena permintaan pasar yang tinggi sehingga menguntungkan," ujar peternak cacing lumbricus, Varian Argasyam Isbandi (27) atau akrab disapa Rian, Selasa.
Ia menjelaskan, awalnya tidak sengaja beternak cacing. Ia diberhentikan sebagai sopir rental, sekitar bulan Maret lalu. Selama empat tahun, ia bekerja sebagai sopir persewaan mobil di Surabaya.
"Imbas pandemi, orderan sudah tidak kayak dulu sebelum ada corona. Mobil akhirnya dijual sama perusahaan dan karyawan dipulangkan," kata Rian.
Bapak dua anak ini sempat bingung bagaimana cara mendapatkan pekerjaan agar ia tetap bisa menghidupi anak dan istrinya. Ia sempat menganggur sekitar tiga bulan, mulai Maret hingga Mei.
Hingga akhirnya ia menemui kakaknya di Ponorogo yang memproduksi obat-obat herbal. Oleh kakaknya, Rian diajak ke tempat pembudidayaan cacing lumbricus rubellus yang merupakan bahan utama obat herbal. Rianpun akhirnya tertarik untuk belajar membudidakan cacing.
Pada bulan Juli 2020, Rian memulai usaha budi daya cacing di lahan kosong di belakang rumahnya dengan modal Rp35 juta yang berasal dari tabungan dan hasil menjual motor.
Modal tersebut ia gunakan untuk membeli bibit cacing sebanyak 2 kwintal, membuat media pembiakan cacing, pakan, dan oven.
Tiga bulan kemudian, pada September, cacing siap dipanen. Setiap dua minggu ia bisa memanen 36 kilogram cacing. Cacing tersebut ia bersihkan, lalu dkeringkan di mesin oven.
"Dari 36 kilogram cacing, setelah dikeringkan menjadi 6 kilogram. Untuk kualitas cacing saya dihargai Rp500 ribu per kilonya. Jadi sekali panen sekitar Rp3 juta," katanya.
Untuk perawatannya, Rian mengaku tidaklah sulit. Cacing merupakan hewan yang tidak mudah sakit. Selain itu, cacing hewan yang bisa kawin dan bertelur sendiri.
"Untuk perawatannya sangat gampang. Cukup disiram dengan air dan diberi pakan ampas tahu. Musuhnya, kalau ada ayam yang masuk ke kolam pembiakan," katanya.
Rian menjelaskan tidak sulit untuk memasarkan atau menjual cacing yang sudah dikeringkan. Sebab, ia sudah mendapatkan pembeli dari produsen jamu herbal yang beroperasi di Jawa Tengah.
Namun, terkadang ada juga warga sekitar yang membeli untuk obat sakit maag, tipes, ataupun untuk pakan ikan serta burung.
Saat ini kebutuhan cacing kering sedang meningkat. Sebab, pabrik jamu herbal yang ada di Jawa Tengah membutuhkan cacing kering hingga tujuh ton setiap bulannya. Dari jumlah kebutuhan pasar tersebut, baru dapat terpenuhi sekitar dua ton saja.
Karenanya, Rian berencana mengajak warga di sekitarnya untuk ikut membudidayakan cacing lumbricus. Pihakya juga bersedia membantu menjualnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020
"Saya mulai budi daya cacing jenis lumbricus rubellus baru pada bulan Juli tahun 2020. Usaha ini asya pilih karena permintaan pasar yang tinggi sehingga menguntungkan," ujar peternak cacing lumbricus, Varian Argasyam Isbandi (27) atau akrab disapa Rian, Selasa.
Ia menjelaskan, awalnya tidak sengaja beternak cacing. Ia diberhentikan sebagai sopir rental, sekitar bulan Maret lalu. Selama empat tahun, ia bekerja sebagai sopir persewaan mobil di Surabaya.
"Imbas pandemi, orderan sudah tidak kayak dulu sebelum ada corona. Mobil akhirnya dijual sama perusahaan dan karyawan dipulangkan," kata Rian.
Bapak dua anak ini sempat bingung bagaimana cara mendapatkan pekerjaan agar ia tetap bisa menghidupi anak dan istrinya. Ia sempat menganggur sekitar tiga bulan, mulai Maret hingga Mei.
Hingga akhirnya ia menemui kakaknya di Ponorogo yang memproduksi obat-obat herbal. Oleh kakaknya, Rian diajak ke tempat pembudidayaan cacing lumbricus rubellus yang merupakan bahan utama obat herbal. Rianpun akhirnya tertarik untuk belajar membudidakan cacing.
Pada bulan Juli 2020, Rian memulai usaha budi daya cacing di lahan kosong di belakang rumahnya dengan modal Rp35 juta yang berasal dari tabungan dan hasil menjual motor.
Modal tersebut ia gunakan untuk membeli bibit cacing sebanyak 2 kwintal, membuat media pembiakan cacing, pakan, dan oven.
Tiga bulan kemudian, pada September, cacing siap dipanen. Setiap dua minggu ia bisa memanen 36 kilogram cacing. Cacing tersebut ia bersihkan, lalu dkeringkan di mesin oven.
"Dari 36 kilogram cacing, setelah dikeringkan menjadi 6 kilogram. Untuk kualitas cacing saya dihargai Rp500 ribu per kilonya. Jadi sekali panen sekitar Rp3 juta," katanya.
Untuk perawatannya, Rian mengaku tidaklah sulit. Cacing merupakan hewan yang tidak mudah sakit. Selain itu, cacing hewan yang bisa kawin dan bertelur sendiri.
"Untuk perawatannya sangat gampang. Cukup disiram dengan air dan diberi pakan ampas tahu. Musuhnya, kalau ada ayam yang masuk ke kolam pembiakan," katanya.
Rian menjelaskan tidak sulit untuk memasarkan atau menjual cacing yang sudah dikeringkan. Sebab, ia sudah mendapatkan pembeli dari produsen jamu herbal yang beroperasi di Jawa Tengah.
Namun, terkadang ada juga warga sekitar yang membeli untuk obat sakit maag, tipes, ataupun untuk pakan ikan serta burung.
Saat ini kebutuhan cacing kering sedang meningkat. Sebab, pabrik jamu herbal yang ada di Jawa Tengah membutuhkan cacing kering hingga tujuh ton setiap bulannya. Dari jumlah kebutuhan pasar tersebut, baru dapat terpenuhi sekitar dua ton saja.
Karenanya, Rian berencana mengajak warga di sekitarnya untuk ikut membudidayakan cacing lumbricus. Pihakya juga bersedia membantu menjualnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020