Di bawah sinar matahari siang, raut wajah Fahrurazi tampak putus asa, manakala melihat empat tambak kepiting bakau di areal seluas dua hektare sepi aktivitas budidaya.
Tambak terbengkalai itu dibangun pada sebuah kawasan hutan bakau, 50 meter dari pinggir sungai di Desa Medan Mas, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Padahal sebelumnya, warga Desa Medan Mas tersebut menaruh ekspektasi tinggi terhadap tambak budidaya yang menggunakan metode silvofishery itu.
Teknik silvofishery merupakan salah satu program alternatif untuk bisa mengembangkan kepiting secara berkelanjutan. Sederhananya, kepiting yang semula ditangkap nelayan dari alam, kemudian dibudidayakan sambil menjaga kelestarian hutan mangrove.
Teknik budidaya ini pun digadang-gadang sebagai alternatif guna memberikan nilai tambah bagi masyarakat lokal yang berprofesi sebagai penebang pohon bakau dan nelayan.
Para petani sempat mencicipi manisnya panen perdana kepiting bakau. Seperti pada awal Februari 2020, Fahrurazi dan puluhan petani lainnya sempat melakukan panen perdana. Ratusan ribu bibit kepiting (baby crab) yang mereka tebar, dalam kurun waktu empat bulanan sudah bisa panen.
“Waktu itu ada ratusan kilo kepiting ukuran sedang, kami angkat dari tambak. kepiting jantan, kami jual ke penampung. Yang betina, kami pisahkan untuk pemijahan telur,” kata Fahrurazi.
Namun, sayangnya hal itu tidak berkelanjutan, terkendala minimnya keahlian dari petani yang ingin memproduksi bibit kepiting secara swadaya melalui indukan kepiting. Ruang pemijah yang dibangun seadanya hingga tidak memadainya teknologi pengatur sanitasi air dan temperatur cuaca, membuat telur yang ditetaskan oleh indukan kepiting gagal menjadi larva.
Penulis melihat langsung bagaimana ruang pemijah dibangun seadanya, di areal tambak di Desa Medan Jaya. Bangunan seukuran enam kali enam meter ini, pada bagian dinding dan atap bangunan, hanya ditempel seng plastik yang transparan.
Pada bagian dalam, terdapat bak pemijahan dari bahan terpal. Di luar bangunan, terdapat empat bak penampung plastik, yang semuanya terhubung dengan pipa. Fungsi dari bak penampung untuk penjernihan air sebelum dialirkan ke dalam bak pemijah.
“Kami sempat memasukkan indukan yang bertelur ke ruang pemijah. Tapi gagal. Mungkin suhu di sini panas. Jadinya gagal,” kata Fahrurazi.
Pandemi
Situasi semakin pelik, begitu diberlakukannya pembatasan wilayah yang memutus pasokan bibit kepiting dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah. Ditambah kondisi pandemi, hal itu membuat petambak menebar benih baru sehingga aktivitas mereka mati total.
Problem lainnya dialami oleh Heri dari kelompok tani budidaya kepiting bakau di Desa Batu Ampar. Jaraknya, sekitar puluhan kilometer dari Desa Medan Mas. Harga pakan yang tinggi kemudian tak sebanding dengan nilai jual kepiting, membuat para petani melakukan setop produksi.
Heri mengatakan sebelum pandemi, harga kepiting ukuran 300 gram bisa mencapai sekitar Rp100.000 per kilogram. Waktu itu, harga pakan yang menggunakan ikan rucah adalah Rp2.000 per kilogram.
Sekarang, pada masa pandemi, harga kepiting anjlok menjadi Rp65.000 per kilogram. Sedangkan harga pakan naik hingga Rp4.000 per kilogram.
“Nelayan lokal di sini menjual pakan ke kami, dengan harga tinggi. Sementara nilai jual kepiting tidak ikut naik. Kalau diteruskan, kami merugi,” kata Heri, yang juga Ketua Kelompok Kepiting Batu Ampar.
Wakil Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Wilayah Kalimantan Barat, Busrah Abdullah menyatakan kepiting bakau Batu Ampar, sebagian besar dikirim ke Jakarta guna memenuhi permintaan pedagang besar. Sisanya dipasarkan ke Kota Pontinak dan sekitarnya.
Namun, sejak pandemi, ekonomi petani tambak terpukul. Agen di Jakarta berhenti menerima pasokan, sedangkan upaya petani mengalihkan pemasaran di pasar lokal malah merugikan karena harga beli yang rendah.
Selama pandemi, kepiting ukuran 300 gram dihargai Rp 80.000 per kilogram, sedangkan sebelumnya bisa Rp 130.000 sampai Rp150.000 per kilogram. Sebelum pandemi pula, harga kepiting untuk agen Jakarta berkisar Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per kilogram.
Kepala Desa Medan Mas, Wira menyatakan selain problem pembesaran kepiting, permasalahan utama adalah pemasaran.
Selama ini, petani tambak sangat bergantung penjualan dari penampung sehingga tengkulak yang memainkan harga. Belum ada pihak ketiga yang bisa menjamin harga jual dapat baik dan berkelanjutan.
Gagasan pengembangan budidaya kepiting dengan teknik silvofishery, baru dicoba nelayan lokal dari sekitar tiga tahun lalu. Direktur Lembaga Sahabat Pantai (Sampan), Dede Purwansyah mengatakan, tujuan penerapan silvofishery untuk menahan laju deforestasi kerusakan hutan mangrove dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi warga lokal.
Arang bakau
Warga Desa Batu Ampar sudah lama menggantungkan hidup dengan menjadi nelayan serta menebang pohon bakau atau mangrove, yang diolah menjadi arang dengan cara proses pembakaran di dalam tungku raksasa.
Abdul, warga Desa Batu Ampar mengatakan, sebenarnya hasil dari usaha industri arang bakau ini tidak terlalu menguntungkan, tetapi tetap berkembang karena tidak ada pilihan lain.
Usaha ini dinilai dapat menyerap tenaga kerja masyarakat yang cukup banyak, antara lain penebang kayu, pemikul dan pengisi tungku pembakaran, penjaga api tungku pembakaran, pembongkaran arang, pemotong arang, hingga pengemasan arang.
Direktur Lembaga JARI Borneo Firdaus mengatakan awalnya industri arang bakau yang dikelola masyarakat hanya usaha sampingan. Namun, kini usaha industri arang bakau semakin bertambah karena membesarnya permintaan pasar.
Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Gatot menuturkan arang dari hutan bakau punya kualitas yang baik ketimbang arang dari batok kelapa. Jika menggunakan arang bakau, api saat pembakaran berwarna sangat biru sehingga banyak digunakan antara lain di Australia untuk keperluan barbeku.
Saat ini, ada 253 pemilik tungku arang di Desa Batu Ampar, dengan total produksi 2.031 ton per tahun. Masa produksi rata-rata setiap tungku 4-6 kali bakar per tahun. Diperlukan hutan mangrove 60 hektare setahun untuk memenuhi kebutuhan bahan baku.
“Sejak warga tahu kepiting bakau bisa dibudidayakan, banyak dari kami tertarik mengembangkannya,” kata Aliansyah, petani kepiting bakau Batu Ampar.
Petambak lainnya, Safrudin menambahkan dari sekitar enam tahun silam, warga desa sudah membangun tambak mandiri untuk budidaya udang vaname.
Namun, karena modal produksi udang vaname tidak sebanding dengan harga jual pasaran, akhirnya lahan tambak dibiarkan menganggur. Kemudian, para nelayan lokal mendapatkan pengetahuan bahwa kepiting bakau ternyata bisa dibudidayakan, sehingga tambak-tambak itu digunakan untuk budidaya kepiting.
Ketua Kelompok Kepiting Bakau Hendry Suryadi memaparkan ada 45 keramba di kawasan Teluk Mastura, Kubu Raya. Setiap keramba berukuran 17 meter persegi.
Sebelumnya, pada November 2019, para petani tambak sudah menebar 16.000 bibit kepiting di keramba. Adapun bibit kepiting diperoleh dari indukan kepiting berbobot minimal 250 gram, dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah.
Telur kemudian ditetaskan hingga menjadi anakan kepiting di fasilitas penetasan kepiting di Desa Medan Mas, Kecamatan Batu Ampar. Butuh waktu 1 bulan 2 minggu untuk proses pembenihan, dari mulai pemilihan induk, penetasan, pemeliharaan jentik kepiting, hingga panen bibit kepiting.
Satu ekor indukan bisa menetas 1 juta sampai 3 juta benih. Pada proses pemeliharaan hingga baby crab, tingkat hidup benih ke baby crab (bibit kepiting) hanya sekitar 1 persen. Bibit kepiting baru bisa dilepas di keramba setelah ukuran karapasnya mencapai sekitar 3-4 centimeter. Sedangkan dari bibit kepiting hingga panen butuh waktu sekitar 4 bulan.
Syarat agar panen berhasil adalah pemberian pakan yang baik. Kepiting diberi pakan ikan rucah 2 kali sehari. Ikan rucah atau ikan campuran dipilih sebagai pakan karena harganya murah.
Pemberian pakan 5 persen dari berat kepiting. Untuk 15.000 bibit kepiting dibutuhkan pakan sekitar 50-100 kilogram ikan rucah, dengan asumsi pemberian pakan 3-4 kilogram per harinya. Sementara luas lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan 15.000 bibit kepiting sekitar 17 meter persegi.
Ada tiga kelompok pengelola tambak kepiting, yaitu kelompok Batu Ampar 1 yang terdiri dari 45 orang nelayan, Batu Ampar 2 dengan 50 orang nelayan, dan Batu Ampar 3 yang diurus 27 nelayan. Anggota kelompok merupakan nelayan tangkap dan warga sekitar.
*) Agus Wahyuni adalah salah satu pemenang Journalist FELLOWSEA (Kerja sama Lembaga Pendidikan ANTARA-Yayasan ECONUSA) untuk isu laut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020