Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa yang terletak di Jalan Khatulistiwa, Gang Sambas Jaya, Pontianak Utara saat ini menjadi satu di antara destinasi unggulan wisata yang baru di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Kampung wisata yang diresmikan Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono dua tahun lalu kini mulai dikenal luas. Di balik hadirnya kampung tenun tersebut ternyata tersimpan cerita tentang toleransi, keberagaman dan pesona budayanya.

Kisah bermula, setelah terjadinya konflik antarsuku pada 1999 di Kabupaten Sambas, masyarakat Suku Madura mengungsikan diri ke Kota Pontianak. Satu di antara pengungsi yang juga menjadi tokoh sentral lahirnya Kampung Tenun Khatulistiwa dan hingga kini tetap eksis yakni Kurnia.

Meski pernah ‘terusir” dampak konflik antarsuku, tidak membuat ia memutuskan banyak hal yang berkaitan daerah asalnnya tinggal termasuk aktivitas menenun. Saat di Sambas, ia sering melihat masyarakat di sana menenun. Lambat laun dan sedikit belajar akhirnya membuat ia tahu dan paham bagaimana caranya menenun. Walaupun tidak mudah bagi Kurnia, ia tetap yakin bisa menenun dan berbuah manis seperti saat ini.

Ketika berada di Kota Pontinak, dia dan keluarga bingung mencari pekerjaan atau sumber pendapatan keluarga. Dengan modal keterampilan yang ada saat di Sambas, Kurnia akhirnya memutuskan untuk menenun.

“Saya kan perantau dan bingung mau kerja apa. Mau kerja di luar tidak bisa yang ada hanya modal keterampilan. Jadi saya memutuskan untuk mengembangkan usaha tenun di sini,” kata Kurnia saat ditemui di Gang Sambas Jaya, Minggu.

Baginya, menenun merupakan hal yang tidak mudah karena harus melalui berbagai proses sampai tenun bisa terselesaikan. Prosesnya mulai dari pewarnaan, menggulung benang, memilah helaian benang, menggulung benang setelah dipilah, penyambungan benang yang telah di tatar, pembuatan motif, hingga menenun.

Tapi dengan tekad dan ketekunan Kurnia akhirnya berhasil memberdayakan masyarakat sekitar. Walaupun memiliki tingkat kesulitan yang tinggi Kurnia bersama kakak dan adiknya tetap sabar dan tekun mengajarkan nya kepada masyarakat sekitar.

Alat dan bahan pertama kali bisa didapatkan berkat ibu dari Kurnia yang rela bolak-balik Pontianak - Sambas untuk mencarikan kelengkapannya. Pada 1999 baru ada Kurnia bersama kakak dan adiknya yang menekuni usaha tenun ini.

Lalu tiga bersaudara ini memperkenalkan tenun kepada ibu-ibu di Gang Sambas Jaya pada 2001. Tidak hanya sebatas memperkenalkan, mereka juga mengajak dan mengajarkan cara menenun secara gratis kepada ibu-ibu sekitar dengan harapan bisa membantu perekonomian keluarga.

Kesulitan juga mereka alami dalam mengajarkan pembuatan tenun, memang perlu perjuangan mengingat pembuatan pola sangat sulit dan kalau dulu orang-orang jarang sekolah. Dengan modal keinginan walaupun tidak sekolah mereka belajar dengan tekun sampai bisa membuat motif.

Bermodal keyakinan, tekun, dan punya kemauan pelan-pelan Kurnia mengembangkan usaha tenun ini, jika ibu-ibu sudah paham dan selesai belajar maka ibu Kurnia akan melepas mereka, jika sudah ada modal mereka beli alat dan menghasilkan tenun secara pribadi.

Kurnia mengaku tidak masalah ketika ibu-ibu yang diajarkannya membuka usaha sendiri, Intinya ibu-ibu mau ikut mau belajar untuk membantu perekonomian mereka.

Seiring berjalannya waktu mereka dapat mengembangkan usaha tenun ini, biarpun sudah memiliki alat masing-masing tapi kelompok tetap berjalan.

Kurnia bisa memproduksi 4 helai kain dalam satu bulan ditambah lagi dengan syal dan tanjak.

Penghasilan Kurnia bisa mencapai Rp11-18 juta per bulan, bahkan tembus Rp20 juta lebih juga pernah. Untuk penghasilan kelompok Rp2-3 juta per bulan.

Pada  2019 Kurnia berhasil memberdayakan lebih dari 50 penenun, sayangnya banyak yang mati suri karena terkendala alat. Sehingga aekarang tinggal setengahnya yaitu 25 orang dari 19 rumah yang ada alat tenun.

Kurnia mengatakan kendala terbesar memang di alat mengingat untuk membeli satu alat memerlukan modal yang besar. Kalau dulu harga satu alat Rp5 juta, sekarang mencapai belasan juta.

Kurnia mengatakan penenun di sini mayoritas orang Madura, mereka berharap dengan melestarikan tenun bisa menjadi penyambung silaturahmi antar suku.

“Mayoritas penenun di sini orang Madura, biarpun tenun bukan asli Madura kami berharap dengan melestarikan tenun ini bisa menjadi benang penyambung persaudaraan antara suku Madura dan Melayu, kami juga berharap tenun ini bisa terus dilestarikan dan diperkenalkan kepada dunia lebih luas lagi,” katanya.
Anak remaja juga ikut menggeluti profesi sebagai penenun di Kampung Tenun Khatulistiwa. (Tim Magang Poltesa, Evi Julianti)


Para Pihak Terlibat

Dengan keterlibatan berbagai pihak dan melihat potensi di Gang Sambas Jaya dari perajin tenun yang tergabung dalam Kelompok Mekar serta karya dihasilkan maka daerah tersebut dijadikan Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa.

Setelah diresmikan menjadi Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa pada 2018 masyarakat lokal maupun dari luar kerap datang .

Di pertengahan kampung pengunjung akan menjumpai yang namanya rumah produksi tenun, di sini nantinya hasil  produk perajin tenun akan dipertontonkan sekaligus dipasarkan.

Pengunjung yang datang ke sini bisa melihat hasil tenun dengan berbagai motif, mulai dari motif-motif khas Sambas hingga motif corak insang khas Pontianak, pengunjung juga bisa melihat proses pembuatan tenun.

Berkat peresmian tersebut bantuan dari pemerintah pun berdatangan, baik dari segi fisik dan non fisik. Dari segi fisik yaitu bantuan alat dan non fisik yaitu bantuan dana.

“Pada  2020 ada bantuan dari Disporapar Kota Pontianak berupa alat gulung benang, etalase, dan mesin jahit. Dari BUMN berbentuk pinjaman, dari Pertamina akhir 2020 masuk pendampingan memberi bantuan empat alat,” kata Kurnia.

Salah satu bentuk nyata dari dukungan pemerintah lainnya adalah perbaikan jalan di kampung tenun tersebut.

Hasil tenun yang dibuat oleh warga disini ikut dipamerkan dalam berbagai pameran, kelompok tenun ini juga kerap mengikuti pameran berskala Nasional seperti Pameran Adiwastra Nusantara yang merupakan pameran kain adat terbesar di Indonesia yang diadakan di Jakarta.

Kurnia sebagai perwakilan kelompok dibawa oleh pihak BUMN dan Dekranasda. Pendampingan dari BUMN banyak membantu warga disini baik dari segi permodalan sampai pemasaran.

Sebelum ada pameran pemasaran kain tenun dibantu keluarga Kurnia yang ada di Sambas, mereka siap menampung dan memasarkan hasil kain-kain buatan masyarakat Gang Sambas Jaya ini.

Pemasaran juga dilakukan lewat online melalui perantara facebook dan instagram. Sampai sekarang Kurnia bersama warga sekitar terus menekuni usaha tenun ini.

Terus bina

Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono mengatakan bahwa Pemkot Pontianak terus melakukan pembinaan kepada warga dan kampong tersebut. Bahkan menggandeng BUMN, perbankan dan komunitas pencinta wisata demi menjadikan kampung tersebut sebagai kawasan wisata unggul bukan hanya di Pontianak namun di Kalimantan Barat.

“Kita bina penenun, berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan BUMN, BUMD dan komunitas demi terciptanya kampung wisata yang unggul. Bukan hanya di Pontianak, tapi di Kalimantan Barat. Infrastruktur akan kita tingkatkan. Perbankan juga kita ajak dari sisi permodalan. Antusiasme masyarakat kita lihat sendiri sangat tinggi. Ini modal dasar bagaimana nantinya kawasan ini akan bernilai ekonomi,” kata dia.

Ia menyebutkan daerah Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa sebenarnya sejak lama dicita-citakan untuk sebagai kampung wisata karena dikenal memiliki banyak penenun andal. Bahkan, perajin kain tenun di wilayah tersebut sudah ada sejak 15 tahun lalu.

“Sebenarnya cita-cita yang sudah cukup lama. Kita kenal di sini ada penenun sejak beberapa tahun lalu, bahkan 10-15 tahun yang lalu. Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa ini memberikan efek positif, terutama bagi warga Gang Sambas dan Gang Sambas Jaya ini,” kata dia.
 

Pewarta: Dedi/ Tim Magang Poltesa, Evi J

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021