Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kota Pontianak mengharapkan peneliti Universitas Muhammadiyah Pontianak (UMP) menemukan solusi menekan tingginya kasus kekerasan seksual dialami anak usia 12-17 tahun di kota ini.

Kepala DP2KBP3A Kota Pontianak Multi Juto Bharatarendro, di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis, mengatakan angka kekerasan seksual pada anak yang ada merupakan fenomena gunung es, karena masih banyaknya korban atau keluarga korban yang tidak melaporkan.

Baca juga: Permendikbudristek PPKS bagian dari jihad melindungi orang

Karena itu, dia berharap melalui penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti UMP dapat menekan kejadian kekerasan seksual pada anak melalui pencegahan di hulu.

"Semoga ke depan intervensi yang dilakukan dapat menekan kasus kekerasan seksual tersebut," katanya dalam siaran pers yang diterima di Pontianak.

Sebelumnya, tim peneliti Universitas Muhammadiyah Pontianak melakukan diseminasi hasil penelitian tentang model prevensi primer kekerasan seksual pada anak di Kota Pontianak.

Baca juga: Permendikbudristek menilai PPKS penting hadir di perguruan tinggi

Kegiatan itu dilaksanakan DP2KBP3A Kota Pontianak sebagai mitra penelitian ini.

Dalam pertemuan itu diungkapkan hasil penelitian tahun pertama 2021 yang dilakukan pada 400 orangtua yang memiliki anak usia 12-17 tahun beserta anaknya di Kota Pontianak yang tersebar di enam kecamatan, ditemukan bahwa 57 persen anak usia 12-17 tahun di Kota Pontianak pernah mengalami kekerasan seksual.



 
Tim penelitian saat berfoto bersama Kepala DP2KBP3A Kota Pontianak Multi Juto Bharatarendro. ANTARA/HO-Tim UMP




Kekerasan seksual itu, di antaranya berupa komentar seksual atau cabul (48,5 persen), diperlihatkan atau dipertontonkan video porno (18,2 persen), disentuh area tubuh pribadi (15,7 persen), dan dipaksa melakukan hubungan seksual (3 persen).

Tim peneliti juga menemukan bahwa ada beberapa persoalan meliputi pengetahuan anak yang kurang memadai tentang kekerasan seksual dan pencegahannya, sikap yang negatif, dan efikasi diri yang rendah dalam pencegahan kekerasan seksual.

Selaras dengan pengetahuan, sikap, dan efikasi diri orangtua dalam memberikan edukasi pencegahan kekerasan seksual pada anak masih kurang memadai.

Baca juga: Permendikbudristek rinci bentuk dan sanksi kekerasan seksual

Faktor penghambatnya di antaranya masih minimnya pengetahuan orangtua tentang kekerasan seksual pada anak yang terbatas hanya paksaan melakukan hubungan seksual pada anak, padahal definisi kekerasan seksual sangat luas, tidak semata paksaan berhubungan seksual.

Kemudian, minimnya keterampilan komunikasi dan efikasi diri orangtua serta masih tabunya membicarakan tentang pendidikan seksualitas (termasuk pencegahan kekerasan seksual).

Penelitian tersebut juga melakukan intervensi pada orangtua (family intervention) melalui KIE Pencegahan Kekerasan Seksual Anak di Kelurahan Siantan Hulu sebagai proyek rintisan.

Baca juga: Kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang di Tigray

Selain itu, juga diadakan Focus Group Discussion (FGD) yang mendiskusikan model intervensi primer di Kelurahan Siantan Hulu, Kota Pontianak sebagai percontohan secara komprehensif dan terintegrasi dengan semua program dan sektor terkait.

Dari temuan penelitian tahun pertama ini, maka akan dilanjutkan pada tahun kedua. Pada tahun kedua direncanakan dilakukan implementasi model pencegahan kekerasan seksual pada anak yang komprehensif dan terintegrasi pada salah satu kelurahan percontohan di Kota Pontianak.

Karena itu, Kepala DP2KBP3A Kota Pontianak Multi Juto Bharatarendro berharap ke depan, melalui model penelitian yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Pontianak tersebut dapat memfasilitasi lingkungan yang aman bagi anak dan mendukung Kota Pontianak sebagai Kota Layak Anak.

Baca juga: Pelaksanaan kebiri kimia pelaku kekerasan seksual anak harus libatkan Jaksa dan IDI
 

Pewarta: Nurul Hayat

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021