Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021, di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih memiliki 15 kabupaten berkategori “merah”. Di mana penyematan status merah itu berdasarkan prevalensi stuntingnya saat ini masih di atas 30 persen.
"Kota Soe, seperti halnya daerah-daerah lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan NTT lainnya memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Bahkan angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 48,3 persen, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Hasto Wardoyo saat melakukan kunjungan kerja di daerah tersebut, Rabu.
Hasto menjelaskan, 15 kabupaten tersebut yang memiliki angka stunting diatas 30 persen yaitu Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Kemudiang bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen
"Sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diantaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah," ungkapnya.
Mengetahui hal itu ujar Hasto, BKKBN bersama pemerintah setempat bahkan Prosiden Joko Widodo telah memberi perhatian khusus, dengan melakukan intervensi dan berbagai upaya dalam menurunkan angka stunting di daerah tersebut.
"Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen," kata Kepala BKKBN.
Menurutnya, prevalensi stunting 48,3 persen di Kabupaten Timor Tengah Selatan jika dinarasikan kurang lebih bermakna ada 48 balita stunting di antara 100 balita. Secara nasional, Kabupaten Timor Tengah Selatan menduduki pemuncak nomor satu untuk prevalensi balita stunting di antara 246 kabupaten/kota di 12 provinsi prioritas. Bahkan standar Badan Kesehatan Dunia atau WHO hanya mentoleransi angka prevalensi stunting di kisaran 20 persen. Artinya prevalensi stunting di Timor Tengah Selatan melebihi dua kali standar dari WHO.
"Terkait hal ini, Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa “berjuang” sendiri, butuh kolaborasi dan konvergensi semua pemangku kepentingan termasuk pelibatan semua komponen masyarakat. Menurut data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan di 2020 terdapat 37.320 jiwa penduduk miskin ekstrem dari total 455.410 jiwa penduduk. Sementara rumah tangga yang memiliki sanitasi layak baru mencapai 60,04 persen atau 69.602 rumah tangga dan hal ini menjadi penyebab masih rentannya masalah kesehatan di masyarakat," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022
"Kota Soe, seperti halnya daerah-daerah lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan NTT lainnya memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Bahkan angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 48,3 persen, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Hasto Wardoyo saat melakukan kunjungan kerja di daerah tersebut, Rabu.
Hasto menjelaskan, 15 kabupaten tersebut yang memiliki angka stunting diatas 30 persen yaitu Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Kemudiang bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen
"Sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diantaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah," ungkapnya.
Mengetahui hal itu ujar Hasto, BKKBN bersama pemerintah setempat bahkan Prosiden Joko Widodo telah memberi perhatian khusus, dengan melakukan intervensi dan berbagai upaya dalam menurunkan angka stunting di daerah tersebut.
"Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen," kata Kepala BKKBN.
Menurutnya, prevalensi stunting 48,3 persen di Kabupaten Timor Tengah Selatan jika dinarasikan kurang lebih bermakna ada 48 balita stunting di antara 100 balita. Secara nasional, Kabupaten Timor Tengah Selatan menduduki pemuncak nomor satu untuk prevalensi balita stunting di antara 246 kabupaten/kota di 12 provinsi prioritas. Bahkan standar Badan Kesehatan Dunia atau WHO hanya mentoleransi angka prevalensi stunting di kisaran 20 persen. Artinya prevalensi stunting di Timor Tengah Selatan melebihi dua kali standar dari WHO.
"Terkait hal ini, Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa “berjuang” sendiri, butuh kolaborasi dan konvergensi semua pemangku kepentingan termasuk pelibatan semua komponen masyarakat. Menurut data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan di 2020 terdapat 37.320 jiwa penduduk miskin ekstrem dari total 455.410 jiwa penduduk. Sementara rumah tangga yang memiliki sanitasi layak baru mencapai 60,04 persen atau 69.602 rumah tangga dan hal ini menjadi penyebab masih rentannya masalah kesehatan di masyarakat," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022