Menulis naskah untuk produksi film maupun serial televisi terdengar sederhana. Namun, proses di baliknya sangat panjang dan membutuhkan komitmen serta kecintaan yang tinggi akan dunia tersebut.
ANTARA, baru-baru ini, berkesempatan untuk berbincang bersama Joe Peracchio, sosok di balik naskah serial televisi Amerika Serikat "Deception", "The Flash", dan "Trojan War".
Peracchio berbagi pengalamannya berkecimpung di dunia penulisan naskah serial televisi, seni peran, metode menulisnya yang unik, hingga perannya dalam pelatihan menulis naskah bersama Netflix.
Berikut beberapa poin menarik yang diungkapkan oleh Peracchio dalam wawancaranya bersama ANTARA dan beberapa awak media, baru-baru ini.
Menurut Anda, apakah perbedaan mendasar dari naskah film dan drama televisi?
Saya banyak bicara soal kesamaan dari keduanya terlebih dahulu. Saya yakin cerita adalah tentang karakter dan misinya meraih sesuatu. Saya lebih senang membuat relasi atau kesamaan dari keduanya alih-alih membicarakan tentang perbedaannya.
Menurut saya pribadi, membuat naskah untuk drama televisi lebih susah.
Dalam membuat skenario film, dengan durasi film 2-3 jam, kita membutuhkan kurang lebih 300 halaman naskah dan harus menceritakan bagian awal - tengah - akhir.
Sementara untuk episode pilot (episode awal serial), kita memiliki 50-60 halaman naskah untuk penayangan kurang lebih 1 jam untuk menceritakan banyak hal dan membuat penonton merasa, "Wow, ini seru sekali". Itulah mengapa saya pikir ini sangat susah.
Menulis naskah drama televisi lebih mirip ke puisi alih-alih skenario/novel. Kita memiliki jumlah waktu yang lebih singkat, dengan pemilihan kata-kata dan visual serta penceritaan.
Hal yang menarik dari serial televisi adalah terdapat banyak sutradara untuk mengarahkan tiap episode. Apakah Anda sebagai penulis naskah mengikuti gaya penyutradaraan mereka saat menulis, atau sebaliknya?
Betul sekali bahwa kita bekerja sama dengan beragam sutradara yang mengarahkan episode yang berbeda-beda.
Satu hal yang menarik, episode pilot adalah yang paling krusial. Sutradara yang mengarahkan episode pilot dari sebuah serial bertugas untuk membentuk tone, gaya, pacing, dan tampilan dari serial tersebut bersama para showrunner. Hampir sama seperti membuat film. Episode pilot adalah yang menentukan bagaimana serial ini akan berjalan ke depannya.
Sementara para penulis naskah yang direkrut (setelah episode pilot), kami akan menyesuaikan gaya dari episode pilot tersebut. Kami harus menyalin suara dari karakter yang ada, deskripsi dari dunia atau latar cerita. Kami harus "meniru" tone tersebut, seakan-akan serial ini dibuat oleh orang yang sama. Pun dengan sutradara-sutradara lainnya yang direkrut.
Ketika misalnya sutradara merasa ada adegan (scene) yang tidak cocok saat mereka mengarahkan (sebuah episode), mereka akan bicara dengan penulis naskah, bertukar pendapat, misalnya apakah adegan A sebaiknya dipotong saja karena sutradara merasa tidak bagus, dan lainnya.
Namun, sebagai penulis naskah, kita sudah tahu apa relasi adegan A tersebut untuk episode selanjutnya dan bagaimana cerita akan berkembang dari adegan itu.
Kita sebagai penulis naskah bersama produser biasanya juga berada di set, untuk membantu sutradara dalam menyusun cerita berdasarkan naskah satu episode tersebut agar berjalan lurus dengan cerita keseluruhan musim.
Di produksi film, sutradara memegang kendali dalam membentuk cerita dan visual dan elemen lainnya. Namun, di produksi drama televisi, penulis naskahlah yang memiliki andil besar tersebut.
Penulis memberikan peta bagi sutradara saat mengarahkan serial supaya ceritanya bisa terjahit dengan baik.
Di produksi film, persiapannya bisa berbulan-bulan sebelumnya. Sementara untuk produksi drama televisi, kita hanya memiliki waktu mingguan saja untuk menulis dan mengerjakan proyek tersebut.
Namun, yang jelas, penulis adalah pemandu bagi sutradara. Kami bekerja sangat dekat dengan mereka dan berkolaborasi selama produksi.
Apakah Anda sudah memiliki gambaran siapa aktor yang akan berperan ketika menulis naskah?
Saya rasa kita semua memilikinya. Kita memiliki aktor yang kita idolakan dan pikirkan ketika kita membuat sebuah naskah. Namun, pada akhirnya, yang terpenting adalah bagaimana kita membuat sebuah karakter yang otentik dan kuat, yang merupakan bagian dari diri kita.
Dan saya pikir, ketika kita membuat karakter dan cerita yang kuat, nantinya hal itu lah yang akan menarik aktor yang tepat untuk memerankan karakter tersebut. Jika tidak, ya, kita coba menulis lagi, hingga aktor dan audiens datang kepada Anda.
(Memilih aktor) Adalah hal yang biasanya berada di luar kendali kita. Namun, pada akhirnya, karakter yang kuat akan menarik aktor yang bagus.
Menulis naskah sangatlah susah, prosesnya begitu panjang dan melelahkan. Tapi, mengapa Anda masih memutuskan untuk menulis hingga sekarang?
Saya pernah memiliki seorang mentor yang merupakan penulis yang sangat brilian. Dia mengatakan dia benci menulis, tapi senang ketika berhasil menyelesaikan sesuatu.
Menulis naskah sangat sulit. Walaupun saya memiliki pengalaman menulis untuk serial Hollywood cukup lama, hal itu tidak membuat saya se-lancar itu dalam proses penulisan naskah.
Proses kreatif memegang peranan penting di dalamnya, dan itulah mengapa draf pertama selalu tidak pernah menjadi produk akhir yang nantinya diproduksi.
Draf pertama seperti layaknya sebuah "muntahan". Banyak hal yang rasanya tidak masuk akal, tidak teratur, dan tidak berfungsi di atas kertas. Namun, itu membantu kita mengenal tema utama cerita, membantu ketika kita melakukan penulisan ulang (rewrite).
Proses itu adalah hal yang menyakitkan -- ketika kita harus memulai lagi, berulang-ulang, semua hal yang sudah kita tulis sebelumnya. Namun, pada akhirnya kita akan lebih merasa mengenal dan melihat kemana cerita itu berjalan.
Kita harus percaya bahwa dengan menulis dengan buruk, itu nantinya akan membantu kita melihat hal tersebut (perjalanan dan tema cerita). Ketika Anda menulis, namun Anda tidak menyukainya, coba tulis ulang. Jangan merasa kecil hati, karena memang kita harus mengulang untuk mencari jawabannya.
Apakah Anda seorang penulis naskah yang menulis selama berjam-jam, atau memiliki jeda dalam proses tersebut?
Saya adalah penulis yang sudah mencoba menulis dengan berbagai cara. Impian saya adalah menulis di pagi hari selama 3-4 jam penuh, seperti layaknya Stephen King yang mengatakan dia menulis setiap pagi selama 4 jam.
Ya, hal itu terdengar sangat mungkin untuk dilakukan. Namun, tidak selalu berfungsi buat saya karena banyak alasan.
Ketika saya menulis di pagi hari, saya merasa sangat optimis untuk bisa menulis dengan bagus. Beberapa karya terbaik saya terlahir dari proses tersebut.
Namun, ada saatnya ketika tim produksi menginginkan kami sebagai penulis untuk menulis ulang naskah dalam tenggat waktu 3 hari, dan saat itu lah saya berubah menjadi penulis yang bisa menulis selama 14 jam penuh, dan semua tubuhku sakit.
Saya juga suka menulis di tempat umum untuk mencari stimulus, melihat momen-momen di sekitar saya.
Anda merupakan mentor utama di Netflix Writing Master Class, apa yang ingin Anda berikan kepada para penulis muda Indonesia melalui pelatihan ini?
Kami banyak mendiskusikan soal penulisan drama televisi -- memberikan mereka wawasan tentang bagaimana membentuk sebuah musim yang bagus untuk sebuah serial televisi; membentuk satu episode yang baik dari sebuah serial; lalu bagaimana membuat peradeganan yang baik di sebuah episode; dan menuangkannya di atas kertas.
Jadi, ini bukan ke mengajar, karena untuk mendapatkan gambaran lebih mendalam, kita harus benar-benar belajar di sekolah film. Namun, di pelatihan ini adalah lebih ke mengenal struktur naskah. Serta membagikan pengalaman dan edukasi saya di sekolah film maupun industri.
Banyak pengisi materi di kelas ini yang merupakan penulis yang sudah membuat banyak film hingga festival. Yang saya coba lakukan di sini adalah memberikan relasi antara penulisan film dan drama televisi.
Misalnya dengan membahas film dari ragam genre termasuk "Star Wars", "The Godfather", "The Dark Knight", hingga "Casablanca" -- bahwa sejumlah struktur dalam film bisa diambil untuk pembuatan serial televisi.
Ada pula pembahasan dan diskusi tentang serial televisi seperti "Breaking Bad", "Ethos" dari Turki, "Squid Game" dari Korea Selatan, "Daredevil", "Stranger Things", dan "Ozark".
Saya di sini juga memberikan keberanian bagi para peserta untuk menulis materi yang terasa spesial bagi mereka -- bahwa hal itu lah yang nantinya akan menggaet audiens.
Selain itu, mengajarkan seni tidak seperti menjelaskan hal-hal konkret seperti pengetahuan lain. Ada faktor pendukung seperti bakat, hati, dan ketulusan dalam berkarya yang bisa membuat sebuah karya menjadi spesial.
Saya juga meyakinkan mereka bahwa ide mereka bisa diselesaikan ke bentuk naskah dan proyek serial. Membantu mereka untuk menemukan cara-cara dalam mewujudkannya, memberikan gambaran akan struktur kreatif yang bisa mereka beri warna tersendiri.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022
ANTARA, baru-baru ini, berkesempatan untuk berbincang bersama Joe Peracchio, sosok di balik naskah serial televisi Amerika Serikat "Deception", "The Flash", dan "Trojan War".
Peracchio berbagi pengalamannya berkecimpung di dunia penulisan naskah serial televisi, seni peran, metode menulisnya yang unik, hingga perannya dalam pelatihan menulis naskah bersama Netflix.
Berikut beberapa poin menarik yang diungkapkan oleh Peracchio dalam wawancaranya bersama ANTARA dan beberapa awak media, baru-baru ini.
Menurut Anda, apakah perbedaan mendasar dari naskah film dan drama televisi?
Saya banyak bicara soal kesamaan dari keduanya terlebih dahulu. Saya yakin cerita adalah tentang karakter dan misinya meraih sesuatu. Saya lebih senang membuat relasi atau kesamaan dari keduanya alih-alih membicarakan tentang perbedaannya.
Menurut saya pribadi, membuat naskah untuk drama televisi lebih susah.
Dalam membuat skenario film, dengan durasi film 2-3 jam, kita membutuhkan kurang lebih 300 halaman naskah dan harus menceritakan bagian awal - tengah - akhir.
Sementara untuk episode pilot (episode awal serial), kita memiliki 50-60 halaman naskah untuk penayangan kurang lebih 1 jam untuk menceritakan banyak hal dan membuat penonton merasa, "Wow, ini seru sekali". Itulah mengapa saya pikir ini sangat susah.
Menulis naskah drama televisi lebih mirip ke puisi alih-alih skenario/novel. Kita memiliki jumlah waktu yang lebih singkat, dengan pemilihan kata-kata dan visual serta penceritaan.
Hal yang menarik dari serial televisi adalah terdapat banyak sutradara untuk mengarahkan tiap episode. Apakah Anda sebagai penulis naskah mengikuti gaya penyutradaraan mereka saat menulis, atau sebaliknya?
Betul sekali bahwa kita bekerja sama dengan beragam sutradara yang mengarahkan episode yang berbeda-beda.
Satu hal yang menarik, episode pilot adalah yang paling krusial. Sutradara yang mengarahkan episode pilot dari sebuah serial bertugas untuk membentuk tone, gaya, pacing, dan tampilan dari serial tersebut bersama para showrunner. Hampir sama seperti membuat film. Episode pilot adalah yang menentukan bagaimana serial ini akan berjalan ke depannya.
Sementara para penulis naskah yang direkrut (setelah episode pilot), kami akan menyesuaikan gaya dari episode pilot tersebut. Kami harus menyalin suara dari karakter yang ada, deskripsi dari dunia atau latar cerita. Kami harus "meniru" tone tersebut, seakan-akan serial ini dibuat oleh orang yang sama. Pun dengan sutradara-sutradara lainnya yang direkrut.
Ketika misalnya sutradara merasa ada adegan (scene) yang tidak cocok saat mereka mengarahkan (sebuah episode), mereka akan bicara dengan penulis naskah, bertukar pendapat, misalnya apakah adegan A sebaiknya dipotong saja karena sutradara merasa tidak bagus, dan lainnya.
Namun, sebagai penulis naskah, kita sudah tahu apa relasi adegan A tersebut untuk episode selanjutnya dan bagaimana cerita akan berkembang dari adegan itu.
Kita sebagai penulis naskah bersama produser biasanya juga berada di set, untuk membantu sutradara dalam menyusun cerita berdasarkan naskah satu episode tersebut agar berjalan lurus dengan cerita keseluruhan musim.
Di produksi film, sutradara memegang kendali dalam membentuk cerita dan visual dan elemen lainnya. Namun, di produksi drama televisi, penulis naskahlah yang memiliki andil besar tersebut.
Penulis memberikan peta bagi sutradara saat mengarahkan serial supaya ceritanya bisa terjahit dengan baik.
Di produksi film, persiapannya bisa berbulan-bulan sebelumnya. Sementara untuk produksi drama televisi, kita hanya memiliki waktu mingguan saja untuk menulis dan mengerjakan proyek tersebut.
Namun, yang jelas, penulis adalah pemandu bagi sutradara. Kami bekerja sangat dekat dengan mereka dan berkolaborasi selama produksi.
Apakah Anda sudah memiliki gambaran siapa aktor yang akan berperan ketika menulis naskah?
Saya rasa kita semua memilikinya. Kita memiliki aktor yang kita idolakan dan pikirkan ketika kita membuat sebuah naskah. Namun, pada akhirnya, yang terpenting adalah bagaimana kita membuat sebuah karakter yang otentik dan kuat, yang merupakan bagian dari diri kita.
Dan saya pikir, ketika kita membuat karakter dan cerita yang kuat, nantinya hal itu lah yang akan menarik aktor yang tepat untuk memerankan karakter tersebut. Jika tidak, ya, kita coba menulis lagi, hingga aktor dan audiens datang kepada Anda.
(Memilih aktor) Adalah hal yang biasanya berada di luar kendali kita. Namun, pada akhirnya, karakter yang kuat akan menarik aktor yang bagus.
Menulis naskah sangatlah susah, prosesnya begitu panjang dan melelahkan. Tapi, mengapa Anda masih memutuskan untuk menulis hingga sekarang?
Saya pernah memiliki seorang mentor yang merupakan penulis yang sangat brilian. Dia mengatakan dia benci menulis, tapi senang ketika berhasil menyelesaikan sesuatu.
Menulis naskah sangat sulit. Walaupun saya memiliki pengalaman menulis untuk serial Hollywood cukup lama, hal itu tidak membuat saya se-lancar itu dalam proses penulisan naskah.
Proses kreatif memegang peranan penting di dalamnya, dan itulah mengapa draf pertama selalu tidak pernah menjadi produk akhir yang nantinya diproduksi.
Draf pertama seperti layaknya sebuah "muntahan". Banyak hal yang rasanya tidak masuk akal, tidak teratur, dan tidak berfungsi di atas kertas. Namun, itu membantu kita mengenal tema utama cerita, membantu ketika kita melakukan penulisan ulang (rewrite).
Proses itu adalah hal yang menyakitkan -- ketika kita harus memulai lagi, berulang-ulang, semua hal yang sudah kita tulis sebelumnya. Namun, pada akhirnya kita akan lebih merasa mengenal dan melihat kemana cerita itu berjalan.
Kita harus percaya bahwa dengan menulis dengan buruk, itu nantinya akan membantu kita melihat hal tersebut (perjalanan dan tema cerita). Ketika Anda menulis, namun Anda tidak menyukainya, coba tulis ulang. Jangan merasa kecil hati, karena memang kita harus mengulang untuk mencari jawabannya.
Apakah Anda seorang penulis naskah yang menulis selama berjam-jam, atau memiliki jeda dalam proses tersebut?
Saya adalah penulis yang sudah mencoba menulis dengan berbagai cara. Impian saya adalah menulis di pagi hari selama 3-4 jam penuh, seperti layaknya Stephen King yang mengatakan dia menulis setiap pagi selama 4 jam.
Ya, hal itu terdengar sangat mungkin untuk dilakukan. Namun, tidak selalu berfungsi buat saya karena banyak alasan.
Ketika saya menulis di pagi hari, saya merasa sangat optimis untuk bisa menulis dengan bagus. Beberapa karya terbaik saya terlahir dari proses tersebut.
Namun, ada saatnya ketika tim produksi menginginkan kami sebagai penulis untuk menulis ulang naskah dalam tenggat waktu 3 hari, dan saat itu lah saya berubah menjadi penulis yang bisa menulis selama 14 jam penuh, dan semua tubuhku sakit.
Saya juga suka menulis di tempat umum untuk mencari stimulus, melihat momen-momen di sekitar saya.
Anda merupakan mentor utama di Netflix Writing Master Class, apa yang ingin Anda berikan kepada para penulis muda Indonesia melalui pelatihan ini?
Kami banyak mendiskusikan soal penulisan drama televisi -- memberikan mereka wawasan tentang bagaimana membentuk sebuah musim yang bagus untuk sebuah serial televisi; membentuk satu episode yang baik dari sebuah serial; lalu bagaimana membuat peradeganan yang baik di sebuah episode; dan menuangkannya di atas kertas.
Jadi, ini bukan ke mengajar, karena untuk mendapatkan gambaran lebih mendalam, kita harus benar-benar belajar di sekolah film. Namun, di pelatihan ini adalah lebih ke mengenal struktur naskah. Serta membagikan pengalaman dan edukasi saya di sekolah film maupun industri.
Banyak pengisi materi di kelas ini yang merupakan penulis yang sudah membuat banyak film hingga festival. Yang saya coba lakukan di sini adalah memberikan relasi antara penulisan film dan drama televisi.
Misalnya dengan membahas film dari ragam genre termasuk "Star Wars", "The Godfather", "The Dark Knight", hingga "Casablanca" -- bahwa sejumlah struktur dalam film bisa diambil untuk pembuatan serial televisi.
Ada pula pembahasan dan diskusi tentang serial televisi seperti "Breaking Bad", "Ethos" dari Turki, "Squid Game" dari Korea Selatan, "Daredevil", "Stranger Things", dan "Ozark".
Saya di sini juga memberikan keberanian bagi para peserta untuk menulis materi yang terasa spesial bagi mereka -- bahwa hal itu lah yang nantinya akan menggaet audiens.
Selain itu, mengajarkan seni tidak seperti menjelaskan hal-hal konkret seperti pengetahuan lain. Ada faktor pendukung seperti bakat, hati, dan ketulusan dalam berkarya yang bisa membuat sebuah karya menjadi spesial.
Saya juga meyakinkan mereka bahwa ide mereka bisa diselesaikan ke bentuk naskah dan proyek serial. Membantu mereka untuk menemukan cara-cara dalam mewujudkannya, memberikan gambaran akan struktur kreatif yang bisa mereka beri warna tersendiri.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022