Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Putut Widjanarko mengatakan tidak semua masyarakat mempersoalkan secara keseluruhan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
“Sebagian orang tidak mempermasalahkan substansi putusan MK yang membuat masyarakat berusia 35 tahun bisa menjadi bakal capres atau cawapres. Tapi yang jadi masalah adalah caranya, kenapa diputuskan sekarang,” kata Putut dalam diskusi virtual bertajuk “Polemik Putusan MK dan Dinamika Pilpres 2024” dipantau di Jakarta, Minggu.
Sementara itu, ada pula masyarakat yang tidak sepakat dengan putusan MK karena sudah memiliki sentimen negatif terhadap satu tokoh politik tertentu.
“Itu harus dibedakan dengan orang yang merasa secara politik jalannya menjadi terhambat karena adanya putusan ini,” katanya.
Menurutnya, dengan memahami spektrum pendapat masyarakat terhadap suatu peristiwa, misalnya terhadap putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres, polarisasi dapat dihindari.
“Kalau kita mengenali bahwa pandangan masyarakat ada spektrumnya, kita tidak gebyah uyah, tidak memasukkan satu orang ke dalam satu kategori besar yang berpotensi menimbulkan polarisasi,” katanya.
Potensi konflik di antara masyarakat pun dapat diperkecil dengan tidak adanya polarisasi yang terlalu tajam di antara masyarakat.
Ia mencontohkan saat pemilihan umum (pemilu) 2019 masyarakat pendukung kedua capres terbagi ke kelompok yang disebut “cebong” dan “kampret” yang sering bertengkar.
“Kalau kamu tidak setuju sama saya, kamu dianggap cebong, dan sebaliknya. Ini akan membentuk polarisasi, padahal pendapat pendukung seorang capres pasti bervariasi. Semakin kita lihat spektrum atau variasi itu, kita akan semakin bisa mencari jalan tengah,” terangnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023