Darah kepahlawanan Indonesia ternyata telah menyebar ke Cape Town lebih dari 350 tahun silam yang dibawa oleh ulama-ulama pejuang Indonesia, demikian menurut Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Cape Town, Afrika Selatan.
"Dua di antara ulama pejuang yang sangat dihormati masyarakat Cape Town adalah Syekh Yusuf Al Makassari dan Tuan Guru yang bernama asli Imam Abdullah Qadhi Abdus Salam. Mereka diasingkan ke Cape Town karena perlawanannya terhadap VOC", kata Konjen RI untuk Afrika Selatan Tudiono, melalui keterangan tertulis KJRI Cape Town di Jakarta, Jumat.
Tudiono mengatakan darah kepahlawanan Indonesia yang senantiasa konsisten menentang penjajahan dan ketidakadilan juga tumbuh subur di ranah diplomasi dan Indonesia berada di garis terdepan dalam perjuangan menentang penjajahan.
Ini tercermin pada peran penting Indonesia dalam menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung dan melahirkan the 10 principles of Bandung yang merupakan salah satu tonggak sejarah diplomasi Indonesia, katanya.
"Darah dan jiwa kepahlawanan itu mengalir dalam urat nadi diplomasi Indonesia untuk memerangi penjajahan, ketidakadilan, keterbelakangan, kemiskinan," kata konjen.
Menurut Tudiono, darah kepahlawanan itu terus menjadi sumber kekuatan moral dan spiritual untuk mengantarkan Indonesia menuju Indonesia Emas, sebagai negara maju sekaligus salah satu kekuatan 4-6 terbesar ekonomi dunia.
Sehubungan dengan Hari Pahlawan, Tudiono juga menceritakan ulama pejuang Syekh Yusuf al Makassari dan Imam Abdullah Qadhi Abdus Salam.
Syekh Yusuf al Makassari lahir di Makassar pada 3 Juli 1626. Dia menghabiskan masa mudanya untuk belajar dan kerap merantau ke sejumlah negara, seperti Suriah, Turki, Yaman dan Arab Saudi pada 1644, untuk mengemban ilmu.
Dalam beberapa kali peperangan, dia akhirnya tertangkap dan diasingkan oleh VOC ke Ceylon (kini Sri Lanka) pada 1682. Pada saat itu VOC berharap dengan pengasingan itu, Syekh Yusuf al Makassari tidak akan menjalin hubungan dengan orang-orang penting.
Akan tetapi dugaan VOC rupanya meleset. Syekh Yusuf malah membangun hubungan baik dengan orang-orang Nusantara yang singgah dalam perjalanan menuju haji.
Atas perjuangannya Syekh Yusuf dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 1995 dan Pemerintah Afrika Selatan pada 2005.
Hingga kini, sosok Syekh Yusuf sangat dihormati oleh komunitas Cape Malay yang merupakan keturunan Indonesia, yang berjumlah lebih dari 300.000 orang. Makam (Kramat) Syekh Yusuf juga masih terawat dengan baik di Macassar, Cape Town.
Sementara itu, Abdullah bin Qadhi Abdus Salam yang berasal dari Tidore, karena perlawanannya terhadap VOC, dia ditangkap dan diasingkan ke Robben Island dengan kapal Zeepard.
Roben Island merupakan pulau kecil tidak jauh dari Cape Town, tempat Nelson Mandela dipenjara selama sekitar 24 tahun karena menentang pemerintah aparteid.
Selama di Robben Island, Tuan Guru yang hafal Al Quran, menulis ulang Al Quran berdasarkan ingatannya dan mengajari penduduk sekitar. Perannya itu menjadikannya disebut Tuan Guru.
Setelah masa tahanannya selesai, Tuan Guru memutuskan untuk tinggal di Cape Town.
Salah satu pengikutnya yang bernama Achmad van Bongalen kemudian menghibahkan satu bangunan yang akhirnya dijadikan masjid oleh Tuan Guru dan menjadi masjid pertama yang ada di Afrika Selatan yang bernama Masjid Al Auwwal.
Masjid ini berada di daerah Bo Kaap, Cape Town. Selain itu, Tuan Guru juga menuliskan buku Ma’rifat wal Iman wal Islam yang kemudian menjadi panduan umat muslim Cape Town. Tuan Guru meninggal di Cape Town pada 1807 di usia 95 tahun.
Baca juga: Generasi muda diminta manfaatkan teknologi membangun Jayapura
Baca juga: Presiden Joko Widodo anugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023
"Dua di antara ulama pejuang yang sangat dihormati masyarakat Cape Town adalah Syekh Yusuf Al Makassari dan Tuan Guru yang bernama asli Imam Abdullah Qadhi Abdus Salam. Mereka diasingkan ke Cape Town karena perlawanannya terhadap VOC", kata Konjen RI untuk Afrika Selatan Tudiono, melalui keterangan tertulis KJRI Cape Town di Jakarta, Jumat.
Tudiono mengatakan darah kepahlawanan Indonesia yang senantiasa konsisten menentang penjajahan dan ketidakadilan juga tumbuh subur di ranah diplomasi dan Indonesia berada di garis terdepan dalam perjuangan menentang penjajahan.
Ini tercermin pada peran penting Indonesia dalam menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung dan melahirkan the 10 principles of Bandung yang merupakan salah satu tonggak sejarah diplomasi Indonesia, katanya.
"Darah dan jiwa kepahlawanan itu mengalir dalam urat nadi diplomasi Indonesia untuk memerangi penjajahan, ketidakadilan, keterbelakangan, kemiskinan," kata konjen.
Menurut Tudiono, darah kepahlawanan itu terus menjadi sumber kekuatan moral dan spiritual untuk mengantarkan Indonesia menuju Indonesia Emas, sebagai negara maju sekaligus salah satu kekuatan 4-6 terbesar ekonomi dunia.
Sehubungan dengan Hari Pahlawan, Tudiono juga menceritakan ulama pejuang Syekh Yusuf al Makassari dan Imam Abdullah Qadhi Abdus Salam.
Syekh Yusuf al Makassari lahir di Makassar pada 3 Juli 1626. Dia menghabiskan masa mudanya untuk belajar dan kerap merantau ke sejumlah negara, seperti Suriah, Turki, Yaman dan Arab Saudi pada 1644, untuk mengemban ilmu.
Dalam beberapa kali peperangan, dia akhirnya tertangkap dan diasingkan oleh VOC ke Ceylon (kini Sri Lanka) pada 1682. Pada saat itu VOC berharap dengan pengasingan itu, Syekh Yusuf al Makassari tidak akan menjalin hubungan dengan orang-orang penting.
Akan tetapi dugaan VOC rupanya meleset. Syekh Yusuf malah membangun hubungan baik dengan orang-orang Nusantara yang singgah dalam perjalanan menuju haji.
Atas perjuangannya Syekh Yusuf dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 1995 dan Pemerintah Afrika Selatan pada 2005.
Hingga kini, sosok Syekh Yusuf sangat dihormati oleh komunitas Cape Malay yang merupakan keturunan Indonesia, yang berjumlah lebih dari 300.000 orang. Makam (Kramat) Syekh Yusuf juga masih terawat dengan baik di Macassar, Cape Town.
Sementara itu, Abdullah bin Qadhi Abdus Salam yang berasal dari Tidore, karena perlawanannya terhadap VOC, dia ditangkap dan diasingkan ke Robben Island dengan kapal Zeepard.
Roben Island merupakan pulau kecil tidak jauh dari Cape Town, tempat Nelson Mandela dipenjara selama sekitar 24 tahun karena menentang pemerintah aparteid.
Selama di Robben Island, Tuan Guru yang hafal Al Quran, menulis ulang Al Quran berdasarkan ingatannya dan mengajari penduduk sekitar. Perannya itu menjadikannya disebut Tuan Guru.
Setelah masa tahanannya selesai, Tuan Guru memutuskan untuk tinggal di Cape Town.
Salah satu pengikutnya yang bernama Achmad van Bongalen kemudian menghibahkan satu bangunan yang akhirnya dijadikan masjid oleh Tuan Guru dan menjadi masjid pertama yang ada di Afrika Selatan yang bernama Masjid Al Auwwal.
Masjid ini berada di daerah Bo Kaap, Cape Town. Selain itu, Tuan Guru juga menuliskan buku Ma’rifat wal Iman wal Islam yang kemudian menjadi panduan umat muslim Cape Town. Tuan Guru meninggal di Cape Town pada 1807 di usia 95 tahun.
Baca juga: Generasi muda diminta manfaatkan teknologi membangun Jayapura
Baca juga: Presiden Joko Widodo anugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023