Dalam buku "The Faithful Triangle: The United States, Israel and the Palestinians" (1983), ilmuwan Amerika Serikat, Noam Chomsky, menuturkan bagaimana sekitar 275 warga Palestina dibunuh secara brutal oleh pasukan Israel pada 3 November 1956.
Peristiwa yang dikenang dalam catatan sejarah sebagai Pembantaian Khan Yunis itu dilakukan dengan penggeledahan rumah ke rumah oleh pasukan Israel.
Sembilan hari setelah pembantaian yang didiamkan saja oleh berbagai negara adidaya saat itu, pasukan Israel kembali melakukan pembantaian di Kota Rafah, membunuh sedikitnya 111 warga dan pengungsi di kota paling selatan di daerah Jalur Gaza.
Menurut ensiklopedia dunia maya Wikipedia, kesaksian para penyintas menyebutkan bahwa para serdadu angkatan bersenjata Israel di Jalur Gaza selatan mengumpulkan warga laki-laki di atas usia 15 tahun.
Israel kemudian menyatakan bahwa semua warga sipil bertanggung jawab secara kolektif atas serangan kepada pasukan IDF, serta kemudian dilakukan eksekusi terhadap para tahanan asal Gaza.
Ratusan warga sipil dieksekusi oleh IDF pada masa seusai terjadinya Krisis Suez, atau tepatnya pada 1 November 1956-7 Maret 1957. Diperkirakan antara 930 dan 1.200 orang dibantai oleh pasukan Israel dalam periode itu.
Apakah ada dari pasukan negara Zionis itu yang diadili atas pembantaian tersebut? Tidak ada. Nol sama sekali.
Sekitar 66 tahun kemudian, peristiwa yang sama persis juga terjadi, di mana IDF kembali melakukan pembantaian di Kota Rafah yang berbatasan langsung dengan Mesir.
Padahal, beberapa bulan sebelumnya Israel mengusir warga di Kota Gaza dan daerah utara jalur tersebut, untuk disuruh pindah ke "wilayah aman" di selatan, termasuk salah satunya di Kota Rafah.
Namun, setelah meluluhlantakkan Gaza utara dan tengah sehingga para warga kesulitan untuk mendapatkan makanan sehari-hari, Israel menyatakan akan kembali melakukan serangan militer di Kota Rafah.
IDF, yang ironisnya mengaku sebagai "pasukan paling bermoral di dunia", melakukan serangan di Kota Rafah yang hingga Senin ini saja menewaskan 67 warga, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Gaza.
Israel tentu saja seperti biasa, berdalih mencari pejuang Hamas, sedangkan bila warga sipil yang terbunuh, mereka mengatakan itu karena Hamas menjadikan mereka tameng hidup. IDF membunuh dengan amunisi dan senjata yang kebanyakan merupakan bantuan militer dari negara-negara Barat.
Anak 6 tahun
Setiap nyawa dari warga sipil yang terbantai di Jalur Gaza (baik daerah utara hingga selatan) sangat berharga, tetapi untuk kepentingan artikel yang singkat ini, dapatlah disebut kisah Hind Rajab, kisah perempuan berusia enam tahun, yang dihabisi pasukan Israel.
Pada 29 Januari lalu, Hind bersama-sama kerabat keluarganya, sedang mengendarai kendaraan untuk mengungsi dari Kota Gaza yang diserang pasukan Israel.
Kendaraan itu ditembaki oleh tank Israel di sebelah barat Kota Gaza, dan ajaibnya, Hind ketika itu masih selamat berupaya menelepon lembaga bantuan Bulan Sabit Merah dengan ponselnya, serta meminta mereka untuk datang dan menolongnya.
Panggilan Hind yang rekamannya masih ada menunjukkan tekanan dan ketakutan yang teramat sangat, tetapi kemudian terdengar teriakan dan rentetan tembakan. Panggilan itu terputus.
Satu ambulans Bulan Sabit Merah ada yang menanggapi panggilan Hind dan segera bergegas untuk menolong anak perempuan tersebut. Namun, ambulans itu tidak kunjung kembali.
Baru pada Sabtu (10/2), atau 12 hari setelah panggilan Hind, barulah Bulan Sabit Merah "mendapatkan izin" dari otoritas Israel untuk dapat sampai ke lokasi di mana Hind berada.
Tragisnya, mereka menemukan Hind bersama keluarganya sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Kaca-kaca mobil sudah dalam kondisi pecah berserakan, lubang-lubang peluru tampak jelas di kendaraan nahas tersebut.
Tidak jauh dari mobil yang dinaiki almarhumah dan kerabatnya, ditemukan satu kendaraan yang terbakar habis. Kendaraan itu adalah ambulans yang sekitar 12 hari lalu dimaksudkan untuk menjemput Hind yang ketakutan.
Para pengemudi dan awak dalam ambulans itu keduanya terbunuh oleh pasukan Israel. Pernyataan Bulan Sabit Merah menyatakan bahwa IDF sengaja menargetkan kru Bulan Sabit Merah, meski organisasi tersebut telah berkoordinasi dengan Israel untuk dapat menjemput Hind.
Demikianlah, Bulan Sabit Merah pada 29 Januari sudah meminta izin kepada otoritas negara Zionis itu untuk dapat menjemput seorang anak perempuan 6 tahun yang ketakutan, tetapi setelah izin diberikan, mereka menjadi sasaran empuk dari tank IDF.
Apakah ada dari pasukan negara Zionis itu yang diadili atas pembantaian tersebut? Tidak ada. Nol sama sekali.
Peringatan
Sebelum Israel memutuskan untuk melakukan serangan darat di Rafah, berbagai pihak sudah melakukan peringatan agar hal itu jangan dilakukan, seperti dari organisasi Amnesty International yang mengingatkan akan potensi kekerasan dan genosida akibat serangan itu.
Tidak hanya itu, Sekjen PBB Antonio Guterres juga mengingatkan akan dampak luar biasa yang dapat terjadi bila militer Israel menyerang Rafah.
Namun, berbagai peringatan itu diabaikan. Netanyahu juga telah menginformasikan kepada Menlu AS Anthony Blinken bahwa serangan ke Rafah akan dilakukan.
Padahal sebelumnya pada Rabu (7/2), Gedung Putih memperingatkan bahwa serangan Israel di Rafah "akan menjadi bencana" bagi warga Palestina.
Tidak heran bila Hamas pada Senin menyatakan bahwa serangan Israel ke Jalur Gaza selatan hanyalah kelanjutan dari aksi genosida.
Melalui platform telegram, Hamas mengingatkan bahwa Israel mengabaikan putusan Mahkamah Internasional (ICJ), yang mendesak negara Zionis itu mencegah setiap tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida.
Hamas menyebut bahwa pemerintahan AS dan pemerintahan Israel, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab akan pembantaian tersebut, dan menyerukan kepada komunitas internasional untuk menghentikan agresi ini.
Sementara itu, pihak Kepresidenan Palestina memperingatkan bahwa rencana serangan Israel terhadap Kota Rafah di Gaza selatan, yang berbatasan dengan Mesir, merupakan pelanggaran nyata yang tidak bisa diterima.
Dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh kantor berita resmi Palestina, Wafa, Kepresidenan Palestina di Tepi Barat dengan keras menolak dan mengutuk pernyataan Netanyahu tentang "rencana untuk memperluas serangan Israel ke Provinsi Rafah yang padat penduduk".
Sama seperti Hamas, Kepresidenan Palestina menyatakan Israel bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari serangan tersebut, dan juga menekankan "tanggung jawab khusus pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah eskalasi yang dapat menimbulkan bencana."
Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 28.000 warga Palestina telah terbunuh. Selain itu, 85 persen penduduk Gaza terpaksa mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong itu rusak atau hancur, menurut data dari PBB.
Respons
Bagaimana respons negara tetangga di sekitar Jalur Gaza? Kementerian Luar Negeri Mesir pada Minggu (11/2) memperingatkan “dampak mengerikan” akibat serangan darat di Kota Rafah di Jalur Gaza selatan yang direncanakan Israel.
Mesir menyerukan persatuan upaya internasional dan regional untuk mencegah rencana serangan terhadap Rafah, yang saat ini menampung sekitar 1,4 juta pengungsi Palestina yang menganggap kota tersebut daerah aman terakhir di Gaza.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada Sabtu (10/2) ketika Israel bersiap untuk melancarkan operasi darat di Rafah.
Arab Saudi menekankan "perlunya DK PBB mengadakan pertemuan luar biasa untuk mencegah Israel melancarkan bencana kemanusiaan."
Sedangkan di Barat, respons yang ada seperti biasanya adalah "keprihatinan", seperti Menlu Inggris David Cameron yang pada Sabtu melalui platform X, menyatakan prihatin atas rencana Israel untuk menyerang Rafah, di mana lebih dari separuh penduduk Gaza berlindung di wilayah tersebut.
Keprihatinan merupakan hal yang penting, tetapi bila tidak dilakukan dengan langkah yang secara nyata dapat menghentikan agresi Israel yang biadab itu, maka jangan heran bila ada yang berpandangan bahwa berbagai pemimpin negara-negara di dunia hanya bisa melongo melihat genosida yang terus terjadi di Palestina.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Peristiwa yang dikenang dalam catatan sejarah sebagai Pembantaian Khan Yunis itu dilakukan dengan penggeledahan rumah ke rumah oleh pasukan Israel.
Sembilan hari setelah pembantaian yang didiamkan saja oleh berbagai negara adidaya saat itu, pasukan Israel kembali melakukan pembantaian di Kota Rafah, membunuh sedikitnya 111 warga dan pengungsi di kota paling selatan di daerah Jalur Gaza.
Menurut ensiklopedia dunia maya Wikipedia, kesaksian para penyintas menyebutkan bahwa para serdadu angkatan bersenjata Israel di Jalur Gaza selatan mengumpulkan warga laki-laki di atas usia 15 tahun.
Israel kemudian menyatakan bahwa semua warga sipil bertanggung jawab secara kolektif atas serangan kepada pasukan IDF, serta kemudian dilakukan eksekusi terhadap para tahanan asal Gaza.
Ratusan warga sipil dieksekusi oleh IDF pada masa seusai terjadinya Krisis Suez, atau tepatnya pada 1 November 1956-7 Maret 1957. Diperkirakan antara 930 dan 1.200 orang dibantai oleh pasukan Israel dalam periode itu.
Apakah ada dari pasukan negara Zionis itu yang diadili atas pembantaian tersebut? Tidak ada. Nol sama sekali.
Sekitar 66 tahun kemudian, peristiwa yang sama persis juga terjadi, di mana IDF kembali melakukan pembantaian di Kota Rafah yang berbatasan langsung dengan Mesir.
Padahal, beberapa bulan sebelumnya Israel mengusir warga di Kota Gaza dan daerah utara jalur tersebut, untuk disuruh pindah ke "wilayah aman" di selatan, termasuk salah satunya di Kota Rafah.
Namun, setelah meluluhlantakkan Gaza utara dan tengah sehingga para warga kesulitan untuk mendapatkan makanan sehari-hari, Israel menyatakan akan kembali melakukan serangan militer di Kota Rafah.
IDF, yang ironisnya mengaku sebagai "pasukan paling bermoral di dunia", melakukan serangan di Kota Rafah yang hingga Senin ini saja menewaskan 67 warga, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Gaza.
Israel tentu saja seperti biasa, berdalih mencari pejuang Hamas, sedangkan bila warga sipil yang terbunuh, mereka mengatakan itu karena Hamas menjadikan mereka tameng hidup. IDF membunuh dengan amunisi dan senjata yang kebanyakan merupakan bantuan militer dari negara-negara Barat.
Anak 6 tahun
Setiap nyawa dari warga sipil yang terbantai di Jalur Gaza (baik daerah utara hingga selatan) sangat berharga, tetapi untuk kepentingan artikel yang singkat ini, dapatlah disebut kisah Hind Rajab, kisah perempuan berusia enam tahun, yang dihabisi pasukan Israel.
Pada 29 Januari lalu, Hind bersama-sama kerabat keluarganya, sedang mengendarai kendaraan untuk mengungsi dari Kota Gaza yang diserang pasukan Israel.
Kendaraan itu ditembaki oleh tank Israel di sebelah barat Kota Gaza, dan ajaibnya, Hind ketika itu masih selamat berupaya menelepon lembaga bantuan Bulan Sabit Merah dengan ponselnya, serta meminta mereka untuk datang dan menolongnya.
Panggilan Hind yang rekamannya masih ada menunjukkan tekanan dan ketakutan yang teramat sangat, tetapi kemudian terdengar teriakan dan rentetan tembakan. Panggilan itu terputus.
Satu ambulans Bulan Sabit Merah ada yang menanggapi panggilan Hind dan segera bergegas untuk menolong anak perempuan tersebut. Namun, ambulans itu tidak kunjung kembali.
Baru pada Sabtu (10/2), atau 12 hari setelah panggilan Hind, barulah Bulan Sabit Merah "mendapatkan izin" dari otoritas Israel untuk dapat sampai ke lokasi di mana Hind berada.
Tragisnya, mereka menemukan Hind bersama keluarganya sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Kaca-kaca mobil sudah dalam kondisi pecah berserakan, lubang-lubang peluru tampak jelas di kendaraan nahas tersebut.
Tidak jauh dari mobil yang dinaiki almarhumah dan kerabatnya, ditemukan satu kendaraan yang terbakar habis. Kendaraan itu adalah ambulans yang sekitar 12 hari lalu dimaksudkan untuk menjemput Hind yang ketakutan.
Para pengemudi dan awak dalam ambulans itu keduanya terbunuh oleh pasukan Israel. Pernyataan Bulan Sabit Merah menyatakan bahwa IDF sengaja menargetkan kru Bulan Sabit Merah, meski organisasi tersebut telah berkoordinasi dengan Israel untuk dapat menjemput Hind.
Demikianlah, Bulan Sabit Merah pada 29 Januari sudah meminta izin kepada otoritas negara Zionis itu untuk dapat menjemput seorang anak perempuan 6 tahun yang ketakutan, tetapi setelah izin diberikan, mereka menjadi sasaran empuk dari tank IDF.
Apakah ada dari pasukan negara Zionis itu yang diadili atas pembantaian tersebut? Tidak ada. Nol sama sekali.
Peringatan
Sebelum Israel memutuskan untuk melakukan serangan darat di Rafah, berbagai pihak sudah melakukan peringatan agar hal itu jangan dilakukan, seperti dari organisasi Amnesty International yang mengingatkan akan potensi kekerasan dan genosida akibat serangan itu.
Tidak hanya itu, Sekjen PBB Antonio Guterres juga mengingatkan akan dampak luar biasa yang dapat terjadi bila militer Israel menyerang Rafah.
Namun, berbagai peringatan itu diabaikan. Netanyahu juga telah menginformasikan kepada Menlu AS Anthony Blinken bahwa serangan ke Rafah akan dilakukan.
Padahal sebelumnya pada Rabu (7/2), Gedung Putih memperingatkan bahwa serangan Israel di Rafah "akan menjadi bencana" bagi warga Palestina.
Tidak heran bila Hamas pada Senin menyatakan bahwa serangan Israel ke Jalur Gaza selatan hanyalah kelanjutan dari aksi genosida.
Melalui platform telegram, Hamas mengingatkan bahwa Israel mengabaikan putusan Mahkamah Internasional (ICJ), yang mendesak negara Zionis itu mencegah setiap tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida.
Hamas menyebut bahwa pemerintahan AS dan pemerintahan Israel, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab akan pembantaian tersebut, dan menyerukan kepada komunitas internasional untuk menghentikan agresi ini.
Sementara itu, pihak Kepresidenan Palestina memperingatkan bahwa rencana serangan Israel terhadap Kota Rafah di Gaza selatan, yang berbatasan dengan Mesir, merupakan pelanggaran nyata yang tidak bisa diterima.
Dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh kantor berita resmi Palestina, Wafa, Kepresidenan Palestina di Tepi Barat dengan keras menolak dan mengutuk pernyataan Netanyahu tentang "rencana untuk memperluas serangan Israel ke Provinsi Rafah yang padat penduduk".
Sama seperti Hamas, Kepresidenan Palestina menyatakan Israel bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari serangan tersebut, dan juga menekankan "tanggung jawab khusus pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah eskalasi yang dapat menimbulkan bencana."
Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 28.000 warga Palestina telah terbunuh. Selain itu, 85 persen penduduk Gaza terpaksa mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong itu rusak atau hancur, menurut data dari PBB.
Respons
Bagaimana respons negara tetangga di sekitar Jalur Gaza? Kementerian Luar Negeri Mesir pada Minggu (11/2) memperingatkan “dampak mengerikan” akibat serangan darat di Kota Rafah di Jalur Gaza selatan yang direncanakan Israel.
Mesir menyerukan persatuan upaya internasional dan regional untuk mencegah rencana serangan terhadap Rafah, yang saat ini menampung sekitar 1,4 juta pengungsi Palestina yang menganggap kota tersebut daerah aman terakhir di Gaza.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada Sabtu (10/2) ketika Israel bersiap untuk melancarkan operasi darat di Rafah.
Arab Saudi menekankan "perlunya DK PBB mengadakan pertemuan luar biasa untuk mencegah Israel melancarkan bencana kemanusiaan."
Sedangkan di Barat, respons yang ada seperti biasanya adalah "keprihatinan", seperti Menlu Inggris David Cameron yang pada Sabtu melalui platform X, menyatakan prihatin atas rencana Israel untuk menyerang Rafah, di mana lebih dari separuh penduduk Gaza berlindung di wilayah tersebut.
Keprihatinan merupakan hal yang penting, tetapi bila tidak dilakukan dengan langkah yang secara nyata dapat menghentikan agresi Israel yang biadab itu, maka jangan heran bila ada yang berpandangan bahwa berbagai pemimpin negara-negara di dunia hanya bisa melongo melihat genosida yang terus terjadi di Palestina.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024