Psikolog Samanta Elsener menyebut bahwa re-parenting, atau memenuhi kebutuhan dan keinginan masa kecil yang belum terpenuhi, adalah salah satu cara untuk menyembuhkan inner child yang tidak terluka.
Samanta menyebut hal tersebut sebagai respon dari pertanyaan mengenai cara menyembuhkan inner child yang terluka dan yang tidak terluka.
"Mungkin ada yang kita ngerasa gini, waktu kecil kita tuh belum terpuaskan. Apa yang menjadi harapan-harapan kita? Misal, karena faktor ekonomi, orang tua kita kayaknya dulu gak bisa beliin kita video game, gitu kan. Sekarang udah bisa punya duit sendiri, bisa beli sendiri. Terus jadi mainnya tuh gak selesai-selesai," ujarnya dalam Siaran Sehat oleh Kementerian Kesehatan yang disiarkan di Jakarta, Senin.
Samanta menjelaskan inner child adalah konsep dari psikolog Swiss, Carl Jung, yaitu sosok anak kecil yang ada pada diri seseorang. Semua orang, ujarnya, memiliki inner child.
"Kadang kalau kita sama pasangan, maunya manja-manja gak sih? Kita sama anak pengennya kayak gemes-gemes, lucu-lucu, kalau anak yang masih toddler (balita), gitu kan. Itu salah satu bentuk kita tuh punya inner child dalam diri kita,"
Seiring perkembangan ilmu psikologi, ujarnya, ada istilah inner child trauma. Hal tersebut, menurutnya, adalah situasi di mana ada sebuah isu, trauma atau luka yang belum dituntaskan.
Dia menjelaskan langkah-langkah re-parenting yang benar menjadi salah satu cara menyembuhkan inner child seseorang yang tidak terluka. Menurutnya, yang pertama adalah mengidentifikasi masalah emosional yang belum selesai di masa kecil, dan kalau perlu dengan bantuan psikolog.
Samanta mengatakan, pada umumnya masalah emosional saat masih kecil timbul karena orangtua sang anak mengabaikan kebutuhan, tidak hadir dalam hidupnya, bahkan sering menolak untuk memenuhi kebutuhan anak.
Kemudian, ujarnya, perlu ada dialog dengan diri sendiri guna mengajarkan agar dapat percaya kembali pada orang lain, dapat melihat orang lain secara bijaksana, dan menentukan apa saja yang diperlukan dari orang lain agar dirinya dapat percaya kembali.
Selain itu, ujarnya, memberikan apresiasi terhadap diri sendiri, seperti dengan memuji perkembangan, kebijaksanaan, atau kemampuan diri.
"'Jadi bukan cuma re-parentingnya berkaitan dengan kompensasi belanja-belanja," dia menambahkan.
Adapun bagi orang yang mengalami kejadian traumatis dan melukai pada masa kecil, ujarnya, semisal perundungan, pelecehan, menyaksikan perceraian orang tua, atau ditinggal mati orang tuanya, maka perlu bantuan dari psikolog.
Dia menjelaskan, ada sejumlah terapi yang dapat digunakan untuk melepaskan bebannya, antara lain terapi seni, terapi kognitif, dan terapi musik.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Samanta menyebut hal tersebut sebagai respon dari pertanyaan mengenai cara menyembuhkan inner child yang terluka dan yang tidak terluka.
"Mungkin ada yang kita ngerasa gini, waktu kecil kita tuh belum terpuaskan. Apa yang menjadi harapan-harapan kita? Misal, karena faktor ekonomi, orang tua kita kayaknya dulu gak bisa beliin kita video game, gitu kan. Sekarang udah bisa punya duit sendiri, bisa beli sendiri. Terus jadi mainnya tuh gak selesai-selesai," ujarnya dalam Siaran Sehat oleh Kementerian Kesehatan yang disiarkan di Jakarta, Senin.
Samanta menjelaskan inner child adalah konsep dari psikolog Swiss, Carl Jung, yaitu sosok anak kecil yang ada pada diri seseorang. Semua orang, ujarnya, memiliki inner child.
"Kadang kalau kita sama pasangan, maunya manja-manja gak sih? Kita sama anak pengennya kayak gemes-gemes, lucu-lucu, kalau anak yang masih toddler (balita), gitu kan. Itu salah satu bentuk kita tuh punya inner child dalam diri kita,"
Seiring perkembangan ilmu psikologi, ujarnya, ada istilah inner child trauma. Hal tersebut, menurutnya, adalah situasi di mana ada sebuah isu, trauma atau luka yang belum dituntaskan.
Dia menjelaskan langkah-langkah re-parenting yang benar menjadi salah satu cara menyembuhkan inner child seseorang yang tidak terluka. Menurutnya, yang pertama adalah mengidentifikasi masalah emosional yang belum selesai di masa kecil, dan kalau perlu dengan bantuan psikolog.
Samanta mengatakan, pada umumnya masalah emosional saat masih kecil timbul karena orangtua sang anak mengabaikan kebutuhan, tidak hadir dalam hidupnya, bahkan sering menolak untuk memenuhi kebutuhan anak.
Kemudian, ujarnya, perlu ada dialog dengan diri sendiri guna mengajarkan agar dapat percaya kembali pada orang lain, dapat melihat orang lain secara bijaksana, dan menentukan apa saja yang diperlukan dari orang lain agar dirinya dapat percaya kembali.
Selain itu, ujarnya, memberikan apresiasi terhadap diri sendiri, seperti dengan memuji perkembangan, kebijaksanaan, atau kemampuan diri.
"'Jadi bukan cuma re-parentingnya berkaitan dengan kompensasi belanja-belanja," dia menambahkan.
Adapun bagi orang yang mengalami kejadian traumatis dan melukai pada masa kecil, ujarnya, semisal perundungan, pelecehan, menyaksikan perceraian orang tua, atau ditinggal mati orang tuanya, maka perlu bantuan dari psikolog.
Dia menjelaskan, ada sejumlah terapi yang dapat digunakan untuk melepaskan bebannya, antara lain terapi seni, terapi kognitif, dan terapi musik.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024