Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Kiai Haji Didin Nurul Rosidin, menilai program Duta Damai dan Sekolah Damai yang diinisiasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencegah swa-radikalisasi atau meradikalisasi diri secara mandiri.
Menurutnya, berbagai program itu hadir untuk mewadahi generasi muda agar tidak terjadi kekosongan pengetahuan akan bahaya laten ideologi transnasional.
"Adanya Sekolah Damai atau Duta Damai akan menjadi sarana yang sangat efektif dalam pencegahan radikalisme dan terorisme di kalangan anak muda," ujar Didin dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Rabu.
Dia menyebutkan swa-radikalisasi saat ini masih menjadi fenomena yang terjadi di kalangan anak muda. Jumlahnya memang tidak banyak, namun potensi kerusakan dan jatuhnya korban jiwa berkat fenomena tersebut begitu besar, sehingga tidak sepatutnya diabaikan.
Maka dari itu, dirinya menilai bahwa penting untuk mewadahi generasi muda dalam suatu komunitas tertentu. Dengan demikian, sambung dia, akan sangat bagus apabila ada berbagai inisiatif seperti Sekolah Damai dan Duta Damai sebagai upaya membangun kesadaran akan bahaya terorisme di tengah masyarakat.
Selama ini, Didin menuturkan anak muda hanya mengetahui terorisme melalui televisi, misalnya ketika terjadi penangkapan dan disiarkan. Padahal, sebenarnya terorisme tidak sesederhana itu.
"Bisa jadi mereka tidak sadar bahwa di sekitar anak-anak ini, misalnya di sekitar lingkungan atau bahkan di dalam rumahnya sendiri, sudah ada proses radikalisasi terhadap mereka. Para anak muda seringkali tidak menyadarinya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, hal yang selanjutnya perlu diperhatikan, yakni sejauh mana sosialisasi telah berjalan agar masyarakat tersentuh oleh berbagai program BNPT karena memang saat ini merupakan zaman gawai atau telepon genggam.
Selain itu, kata dia, pola pikir masyarakat saat ini terkadang jika belum viral, maka belum dikenal (no viral, no justice atau no viral, no consciousness). Dengan begitu, perlu untuk digencarkan kembali sosialisasi dan promosi berbagai program penanggulangan radikalisme terorisme seperti Duta Damai dan Sekolah Damai.
Dia melanjutkan, diperlukan pula upaya untuk terus meningkatkan pengetahuan, terlepas dari tingkatan umur atau latar belakang lainnya. Menurutnya, segala pengetahuan yang baik, termasuk ilmu agama, merupakan pengetahuan dari sumber yang otoritatif dan bisa tervalidasi kebenarannya.
“Dengan bersandar pada sumber keilmuan yang valid, sebenarnya kita sedang mengamalkan salah satu prinsip dalam epistemologi Islam. Manakala kita mempelajari sesuatu yang tidak diketahui otoritas dan validitasnya, cepat atau lambat kita akan tersesat," ucap Didin.
Dengan semakin gencarnya sosialisasi berbagai program kontraradikalisme dan kontraterorisme, Didin pun berharap generasi muda Indonesia semakin resisten dengan propaganda bermuatan ideologi transnasional.
Ia berpendapat anak-anak, remaja, hingga masyarakat secara luas perlu melibatkan dirinya untuk membangun ketahanan diri yang baik terhadap paham radikal. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan menunjukkan rasa memiliki yang kuat dari rakyat Indonesia terhadap bangsanya sendiri.
“Kesadaran membangun resistensi ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada BNPT, lembaga pemerintah lainnya, atau bahkan kepada para kiai dan para ulama, tetapi juga harus menjadi kesadaran bersama seluruh masyarakat," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Menurutnya, berbagai program itu hadir untuk mewadahi generasi muda agar tidak terjadi kekosongan pengetahuan akan bahaya laten ideologi transnasional.
"Adanya Sekolah Damai atau Duta Damai akan menjadi sarana yang sangat efektif dalam pencegahan radikalisme dan terorisme di kalangan anak muda," ujar Didin dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Rabu.
Dia menyebutkan swa-radikalisasi saat ini masih menjadi fenomena yang terjadi di kalangan anak muda. Jumlahnya memang tidak banyak, namun potensi kerusakan dan jatuhnya korban jiwa berkat fenomena tersebut begitu besar, sehingga tidak sepatutnya diabaikan.
Maka dari itu, dirinya menilai bahwa penting untuk mewadahi generasi muda dalam suatu komunitas tertentu. Dengan demikian, sambung dia, akan sangat bagus apabila ada berbagai inisiatif seperti Sekolah Damai dan Duta Damai sebagai upaya membangun kesadaran akan bahaya terorisme di tengah masyarakat.
Selama ini, Didin menuturkan anak muda hanya mengetahui terorisme melalui televisi, misalnya ketika terjadi penangkapan dan disiarkan. Padahal, sebenarnya terorisme tidak sesederhana itu.
"Bisa jadi mereka tidak sadar bahwa di sekitar anak-anak ini, misalnya di sekitar lingkungan atau bahkan di dalam rumahnya sendiri, sudah ada proses radikalisasi terhadap mereka. Para anak muda seringkali tidak menyadarinya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, hal yang selanjutnya perlu diperhatikan, yakni sejauh mana sosialisasi telah berjalan agar masyarakat tersentuh oleh berbagai program BNPT karena memang saat ini merupakan zaman gawai atau telepon genggam.
Selain itu, kata dia, pola pikir masyarakat saat ini terkadang jika belum viral, maka belum dikenal (no viral, no justice atau no viral, no consciousness). Dengan begitu, perlu untuk digencarkan kembali sosialisasi dan promosi berbagai program penanggulangan radikalisme terorisme seperti Duta Damai dan Sekolah Damai.
Dia melanjutkan, diperlukan pula upaya untuk terus meningkatkan pengetahuan, terlepas dari tingkatan umur atau latar belakang lainnya. Menurutnya, segala pengetahuan yang baik, termasuk ilmu agama, merupakan pengetahuan dari sumber yang otoritatif dan bisa tervalidasi kebenarannya.
“Dengan bersandar pada sumber keilmuan yang valid, sebenarnya kita sedang mengamalkan salah satu prinsip dalam epistemologi Islam. Manakala kita mempelajari sesuatu yang tidak diketahui otoritas dan validitasnya, cepat atau lambat kita akan tersesat," ucap Didin.
Dengan semakin gencarnya sosialisasi berbagai program kontraradikalisme dan kontraterorisme, Didin pun berharap generasi muda Indonesia semakin resisten dengan propaganda bermuatan ideologi transnasional.
Ia berpendapat anak-anak, remaja, hingga masyarakat secara luas perlu melibatkan dirinya untuk membangun ketahanan diri yang baik terhadap paham radikal. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan menunjukkan rasa memiliki yang kuat dari rakyat Indonesia terhadap bangsanya sendiri.
“Kesadaran membangun resistensi ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada BNPT, lembaga pemerintah lainnya, atau bahkan kepada para kiai dan para ulama, tetapi juga harus menjadi kesadaran bersama seluruh masyarakat," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024