Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli dalam analisisnya berjudul “Etika Negara Demokrasi, Membangun Politik, Hukum, dan Ekonomi yang Bermartabat” mengatakan bahwa praktik politik sandera dapat merusak institusi penegak hukum.
"Alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu," kata Pieter dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, istilah politik sandera merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Ia menilai, praktik itu belakangan kerap digunakan dalam percakapan politik di Indonesia.
“Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik. Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum,” ujarnya.
Pieter memandang akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam pada relasi antara elite politik dan kekuasaan. Ia berpendapat, keterlibatan elite dalam praktik korupsi dapat menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial.
"Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Ini sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang. Tidak peduli siapa pemimpinnya," kata dia.
Dia juga menyoroti penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang berada pada angka 34, menempatkan Tanah Air di peringkat 115 dari 180 negara pada 2023. Artinya, keberhasilan penanganan korupsi Indonesia turun dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya.
Menurut Pieter, penurunan ranking itu menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi ialah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi.
Selain itu, praktik politik sandera juga dinilai Pieter dapat merusak demokrasi karena praktik tersebut mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan.
Dia mengatakan, politik sandera membuat institusi hukum menjadi tidak berfungsi sebagaimana tujuan dan hakikatnya untuk menegakkan hukum keadilan dan kemanfaatan. Fungsi itu seharusnya untuk seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite penguasa.
"Politik sandera yang dijalankan oleh para penguasa didorong oleh budaya korupsi yang merajalela di kalangan elite partai politik," kata dia.
Bagi Pieter, secara struktural, kehidupan politik di Indonesia sangat rentan terhadap praktik korupsi. Hal ini menjadi bumerang bagi partai politik itu sendiri dan menciptakan ketakutan di kalangan elite politik untuk melawan penguasa.
Untuk itu, dia menyebut negara membutuhkan upaya penyelamatan revolusioner dari pemimpin-pemimpinnya, termasuk para elite hukum dan presiden.
"Diperlukan sikap moral yang tegas dari pemimpin untuk membela penegakan hukum dan antikorupsi, agar negeri ini tidak terus dibajak oleh para elite korup dan busuk," kata Pieter.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
"Alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu," kata Pieter dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, istilah politik sandera merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Ia menilai, praktik itu belakangan kerap digunakan dalam percakapan politik di Indonesia.
“Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik. Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum,” ujarnya.
Pieter memandang akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam pada relasi antara elite politik dan kekuasaan. Ia berpendapat, keterlibatan elite dalam praktik korupsi dapat menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial.
"Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Ini sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang. Tidak peduli siapa pemimpinnya," kata dia.
Dia juga menyoroti penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang berada pada angka 34, menempatkan Tanah Air di peringkat 115 dari 180 negara pada 2023. Artinya, keberhasilan penanganan korupsi Indonesia turun dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya.
Menurut Pieter, penurunan ranking itu menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi ialah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi.
Selain itu, praktik politik sandera juga dinilai Pieter dapat merusak demokrasi karena praktik tersebut mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan.
Dia mengatakan, politik sandera membuat institusi hukum menjadi tidak berfungsi sebagaimana tujuan dan hakikatnya untuk menegakkan hukum keadilan dan kemanfaatan. Fungsi itu seharusnya untuk seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite penguasa.
"Politik sandera yang dijalankan oleh para penguasa didorong oleh budaya korupsi yang merajalela di kalangan elite partai politik," kata dia.
Bagi Pieter, secara struktural, kehidupan politik di Indonesia sangat rentan terhadap praktik korupsi. Hal ini menjadi bumerang bagi partai politik itu sendiri dan menciptakan ketakutan di kalangan elite politik untuk melawan penguasa.
Untuk itu, dia menyebut negara membutuhkan upaya penyelamatan revolusioner dari pemimpin-pemimpinnya, termasuk para elite hukum dan presiden.
"Diperlukan sikap moral yang tegas dari pemimpin untuk membela penegakan hukum dan antikorupsi, agar negeri ini tidak terus dibajak oleh para elite korup dan busuk," kata Pieter.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024