Direktur Asosiasi Pertahanan, Antariksa, dan Keamanan Nasional Universitas Queensland (UQ) Greta Nabbs-Keller berpendapat bahwa Indonesia dan Australia merupakan dua kekuatan menengah utama di Indo-Pasifik yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mempengaruhi perubahan global.

“Tetapi itu harus diimbangi oleh kemauan politik, kebijakan yang koheren, ikatan kepemimpinan yang kuat … dan keberanian,” kata Keller dalam diskusi “Peran Kekuatan Menengah dalam Multipolar” di Jakarta, Kamis.

Hal tersebut, kata Keller, didukung dengan sejarah yang mengindikasikan bahwa Indonesia dan Australia adalah pembuat kebijakan, bukan pengambil kebijakan.

Akademisi UQ itu lantas menyebut Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955 sebagai cikal bakal gerakan non-blok sekaligus kunci pembentukan dan evolusi ASEAN sebagai alat untuk mengelola distribusi kekuatan regional.

Baca juga: Pendidikan menjadi pilar utama hubungan RI-Australia

Menurut Keller, ada peluang bagi Indonesia dan Australia untuk menunjukkan kepemimpinan dan kemampuan yang secara kolektif memperkuat pengaruh kedua negara dalam politik global, khususnya kawasan.

Untuk itu, Indonesia dan Australia perlu melakukan lebih dari sekadar membangun jembatan dan terus aktif membentuk norma-norma internasional, kerangka hukum, lembaga dan tindakan praktis untuk mengatasi tantangan, katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa Indonesia dan Australia perlu membangun pagar pembatas untuk tatanan regional yang lebih stabil, berupaya meredakan ketegangan dan memacu tindakan konkret yang mendukung multilaterisme.

“Kita dapat membangun pagar pembatas yang mendukung keberlanjutan, kohesi sosial, stabilitas politik regional, dan pemanfaatan teknologi untuk keuntungan dan bukan kerugian bagi umat manusia,” kata Keller.

Baca juga: Mitra global telah akui status RI sebagai kekuatan menengah

Pewarta: Cindy Frishanti Octavia

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024