Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menerbitkan Pedoman Mekanisme Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme sebagai dasar koordinasi perlindungan dan pemulihan anak korban jaringan terorisme yang memerlukan kolaborasi lintas sektor.

"Pedoman ini bertujuan untuk memaksimalkan peran Kementerian/Lembaga, dan pemda sesuai dengan mandat PP Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak, serta PP Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga, saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.

Pedoman ini diharapkan dapat memperkuat regulasi nasional dan memastikan respons yang terkoordinasi di tingkat pusat maupun daerah.

Pedoman ini mencakup tiga aspek utama, yakni pencegahan, rehabilitasi, dan reintegrasi, serta penanganan peradilan anak.

Fokus utamanya adalah memberikan panduan perlindungan bagi anak-anak yang menjadi pelaku, korban, atau saksi dalam jaringan terorisme.

Bintang Puspayoga menegaskan bahwa anak-anak adalah aset berharga bagi masa depan Indonesia dan mereka berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk dari jaringan terorisme.

Pedoman ini diharapkan dapat menjadi bukti komitmen pemerintah dalam mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030.

Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat antara tahun 2016 hingga 2023, terdapat 29 anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme.

Data ini mencakup anak-anak yang menjadi pelaku maupun korban, sehingga menunjukkan seriusnya ancaman ini terhadap generasi masa depan bangsa.

Anak-anak yang terlibat sering kali merupakan korban dari propaganda dan doktrin jaringan teroris, serta menghadapi trauma fisik dan emosional yang mendalam.

 

Pewarta: Anita Permata Dewi

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024