Jakarta (ANTARA) - “Tidak boleh absen. Bukan tidak pernah absen, memang tidak boleh absen,” kata Achmad Yurianto.
Sudah 110 hari lebih ia menjadi juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19. Wajah dan suaranya nyaris tidak pernah absen dari layar televisi dan radio.
Kehadirannya pun tidak jarang membuat pemirsa dan pendengar berharap-harap cemas. Pasalnya, data yang ia sampaikan pada masyarakat sangat penting, berisi angka harian kasus COVID-19 di Indonesia.
Maklum saja, tidak hanya rakyat Indonesia, seluruh penduduk Planet Bumi saat ini tentu berharap kasus COVID-19 segera turun dan pandemi segera berlalu.
“Saya harus melayani masyarakat yang butuh informasi. Itu kuncinya. Oleh karena itu, kewajiban saya, bagaimana juga, harus tampil dan menyampaikan informasi. Tugas ini suatu kehormatan buat saya,” kata pria kelahiran Malang, 58 tahun lalu tersebut kepada ANTARA di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, Kamis (18/6).
Pada hari kerja, setiap selepas subuh Achmad Yurianto biasanya sudah berangkat menuju kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta. Sehingga sekitar jam 5.30 WIB sudah ada di Gedung Kementerian Kesehatan dan mengerjakan tugas-tugasnya sebagai Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P).
“Saya sudah bisa menyelesaikan sebagian pekerjaan saya, karena saya kan bukan sebagai juru bicara saja, jadi masih mengerjakan pekerjaan di P2P,” kata pria yang akrab disapa Yuri itu.
Pagi itu ia sempat berkomunikasi dulu dengan teman-teman di Papua, sebelum akhirnya pukul 12.00 WIB timnya menyerahkan caps lock data. Data dari seluruh Indonesia dianalisis, kemudian diolah sebelum data tersebut diserahkan padanya paling lambat jam 2 siang untuk kemudian dievaluasi.
Sehingga pada jam 14.30 WIB atau paling lambat jam 15.00 WIB, ia mengatakan sudah harus berangkat ke Graha BNPB untuk merilis data harian COVID-19 tersebut pada masyarakat. Baru setelahnya, data dibagikan ke seluruh provinsi untuk ditindaklanjuti ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Daerah.
“Kemudian malam hari saya akan banyak diskusi dengan kepala dinas provinsi, teman-teman Gugus Tugas Daerah bahkan dengan media. Nah ini yang saya lakukan rutin setiap hari seperti itu,” kata Yuri menceritakan kesehariannya semenjak menjadi juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19.
Edukasi data
Ada kalanya sesuatu tidak berjalan mulus. Begitu pula urusan pengumpulan dan pengolahan data harian COVID-19 di Indonesia.
“Pernah satu saat lima menit terakhir data baru masuk. Mepet. Tetapi itu kan tidak pada sebagian besar laboratorium, paling hanya satu atau dua saja. Enggak apa-apa, dinamika seperti itu pasti terjadi,” ujar dokter alumni Universitas Airlangga itu.
Bahkan, ia menceritakan ada juga pada saat on air data baru masuk, sehingga mau tidak mau dilewati dan dimasukkan di hari berikutnya. Dengan catatan bahwa ada data yang belum terverifikasi, dan itu tertera dalam kolom di laporan harian.
Lebih lanjut Eselon I Kementerian Kesehatan yang pernah menjadi dokter militer selama 29 tahun itu menjelaskan data yang diolah oleh timnya di Public Health Emergency Operation Center di Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan tersaji dalam bentuk informasi yang ditujukan ke masyarakat agar bisa melihat bagaimana perjalanan penyakit COVID-19.
Seperti dalam dua pekan terakhir, menurut Yuri, tidak lagi berbicara Indonesia tetapi mulai fokus para level provinsi. Hari itu saja ada 17 provinsi yang kenaikannya tidak terlalu tinggi di bawah 10, tapi kalau dilihat tren dari hari ke hari sebenarnya mulai menurun.
Bahkan ada 10 provinsi yang hari itu tidak ada kasus baru. Tetapi memang, ia mengatakan di lima provinsi lainnya datanya dinamis naik terus.
“Nah inilah yang kemudian tentunya kita terjemahkan sebagai informasi kepada saudara kita di daerah yang kasusnya naik terus, ya, harus hati-hati betul. Untuk yang sudah mulai menurun bukan berati kehilangan kewaspadaan. Kita harus tetap waspada,” ujar Yuri.
Ia mengatakan datanya memang diubah menjadi informasi, karena jika diberikan secara vulgar ke masyarakat mungkin banyak yang akan bingung. Padahal, pesan yang ingin disampaikan adalah apa yang harus dilakukan masyarakat supaya tidak sakit, bukan apa yang harus dilakukan supaya tidak sakit dan tidak kerja.
“Sama seperti akhir-akhir ini banyak yang bertanya, yakni para orang tua, kapan anak saya bisa sekolah? Saya tanya bener pingin sekolah? Enggak takut sakit? Jawabnya ooo ... enggak boleh, harus enggak sakit,” kata Yuri mengulangi keinginan sejumlah masyarakat yang sempat berkomunikasi dengannya.
Artinya, masyarakat ingin kembali produktif, ingin sekolah, tapi syaratnya mutlak harus aman dari virus corona baru.
Bagi dokter yang sebelumnya merupakan Kepala Sub Direktorat Dukungan Kesehatan dan Operasi Pusat Kesehatan TNI itu, hal paling berkesan selama menjadi juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 yakni saat dirinya memberikan informasi yang betul-betul dibutuhkan masyarakat perihal kekhawatiran SARS-CoV-2 yang menular melalui airbone.
Informasi itu tentu memunculkan ketakutan luar biasa dalam masyarakat. “Tapi setelah kita tenangkan ini bukan airbone disease akhirnya masyarakat, ooo ... gitu toh, berarti selama ini terlalu berlebihan merespons,” kata Yuri yang ternyata termasuk orang pertama yang membuka pintu pesawat yang membawa 238 WNI dari Wuhan.
Dari sana Yuri dan timnya mengisi ruang edukasi berdasarkan data COVID-19 pada masyarakat. Lalu membahasakannya secara lebih sederhana, supaya masyarakat tahu tentang bagaimana melindungi diri sendiri dari virus corona tipe baru itu dengan benar.
“Tugas beraaatt... Bismillah... Semangat papa,” kata sang istri menyemangati Yuri saat ditunjuk menjadi juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 melalui akun Instagramnya @dustyhandmade.
Istrinya, dokter Dwiretno Yuliarti, juga kerap memberi dukungan dengan mendesain dan membuat khusus masker-masker batik yang cantik untuk digunakannya sehari-hari.
Deputi Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin mengumumkannya sebagai juru bicara resmi pemerintah untuk penanganan corona pada Selasa (3/3), dan meminta semua pertanyaan terkait penanganan COVID-19 dapat diajukan kepada Yuri yang pernah menjadi dokter Batalyon Infanteri 745/Sampada Yudha Bakti Dili, Timor Timur pada 1991.
Bukan tugas sederhana memang menjadi juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, karena kondisinya tentu berbeda ketika menghadapi pandemi flu babi (swine flu) di 2009. Pandemi kali ini bukan hanya virus yang harus dihadapinya, namun hoaks yang sama cepatnya menyebar di kalangan masyarakat.*