Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dinilai perlu waspada potensi kenaikan harga pangan pada 2022 menyusul pandemi COVID-19 yang masih berlangsung dan fenomena La Nina yang menyebabkan ketidakpastian musim tanam dan musim panen.
"Krisis iklim telah menjadi salah satu tantangan dalam kelangsungan sektor pertanian dalam menjalankan fungsinya menyediakan pangan bagi seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian musim tanam dan panen semakin menambah tantangan petani kita dalam memproduksi pangan dan memenuhi kesejahteraannya," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Indra menyebut saat ini distribusi dan ketersediaan sebagian besar bahan pangan pokok di Indonesia memang sudah lebih stabil dari sebelumnya. Namun beberapa komoditas yang sebagian besar bersumber dari impor, seperti bawang putih, gula, daging sapi dan kedelai, diprediksi juga akan mengalami fluktuasi harga.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat sepanjang 2021 harga bawang putih cenderung mengalami kenaikan dari Rp28.300 di Januari dan mencapai titik tertinggi pada Agustus sebesar Rp30.600.
Demikian pula harga daging sapi juga terus mengalami kenaikan dari Rp113.250 pada Januari 2021 hingga mencapai Rp120.050 pada Mei 2021.
"Pantauan pergerakan harga dan produksi nasional seharusnya sudah bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan yang akurat. Di samping itu, dibutuhkan data pangan yang dapat dipercaya dan diperbaharui secara berkala," imbuhnya.
Indra menuturkan kesulitan mengamankan impor daging sapi dapat meningkatkan kemungkinan kenaikan harga domestik. Terlebih perayaan Idul Fitri pada tahun 2022 mendatang akan berlangsung di awal tahun.
Ia menambahkan rendahnya permintaan akibat pandemi memang dapat meredam kenaikan harga. Kendati demikian, menjelang Ramadhan dan Idul Fitri jumlah permintaan dipastikan akan melebihi permintaan pada hari biasa.
Oleh karena itu, menurutnya, ketersediaan stok yang memadai sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan harga pangan, terutama komoditas yang tergolong pokok dan sumber ketersediaannya sebagian besar berasal dari impor.
"Rentetan peristiwa yang menandai fluktuasi harga komoditas pangan, terutama yang termasuk pada komoditas pokok dan ketersediaannya dipenuhi lewat impor, idealnya sudah bisa dijadikan parameter dalam mengambil kebijakan," tegas Indra.
Selain fluktuasi harga, Indra mengatakan data produksi pangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi sangat penting dalam menentukan kebijakan. Proses panjang importasi juga perlu diingat sehingga waktu masuknya komoditas pangan impor tidak merugikan petani.
Selain itu kenaikan harga pangan di tingkat internasional juga berpengaruh pada harga dalam negeri. Bila ketersediaan stok sudah tidak mencukupi dan harga-harga sudah mulai naik, mempertimbangkan stok negara di luar negeri atau impor dapat menjadi jalan untuk menyediakan komoditas pangan bermutu dan dengan harga yang terjangkau.
"Seperti contohnya bawang putih yang ketersediaanya dipenuhi lewat impor, perlu dipermudah akses dan syarat-syarat impornya. Ketahanan pangan dalam negeri penting untuk dijaga melalui pemenuhan kebutuhan pangan dengan harga terjangkau," pungkas Indra.
Baca juga: Sutarmidji: Kebutuhan pangan cukup untuk pengungsi banjir
Baca juga: Perusda Kalbar komitmen dukung UMKM untuk pemasaran pangan lokal hingga ekspor
Baca juga: Dinas Ketahanan Pangan Kalbar perkuat usaha pangan lokal berbasis UMKM