Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listian mengatakan eksistensi untuk kendaraan berbasis hidrogen memiliki kemiripan dengan kendaraan listrik (Battery Electric Vehicle/BEV) .
“Mobil listrik 5 tahun yang lalu belum terlalu ada, tapi sekarang sudah banyak kan. Dan banyak industri juga yang mulai produksi di sini. Nah, kita akan melihat seperti itu juga, mau bicara hidrogen, mau bicara etanol, pasti market yang menentukan,” kata Eniya Listiani di sela-sela kegiatan acara Toyota Series Carbon Neutrality, di Jakarta, Jumat.
Dengan semakin banyaknya produsen yang bermain di segmen ini, nantinya market yang semakin diuntungkan. Hal itu dikarenakan harga jual dari kendaraan tersebut juga semakin lebih terjangkau.
Jepang, yang saat ini sudah mulai memasarkan kendaraan berbasis hidrogen menjual kendaraan tersebut dengan harga yang cukup terjangkau, yakni 1.7 juta yen atau setara dengan Rp180.908.900.
“1,7 jutaan yen itu berapa rupiah tuh? itu harga di sana (Jepang),” ucap dia.
Sehingga, lanjut dia, kalau Indonesia masuk ke dalam fase kendaraan hidrogen dan banyak produsen otomotif yang bermain serta memproduksi kendaraan tersebut secara lokal, tentunya, harga kendaraan tersebut menjadi lebih terjangkau.
Untuk saat ini, Indonesia telah memiliki dua lokasi Stasiun Pengisian Bahan Bahar Hidrogen (SPBH) yang berada di Senayan, Jakarta Selatan dan juga Karawang, Jawa Barat, sehingga, dengan hadirnya dua SPBH ini menjadi stimulus berkembangnya kendaraan jenis tersebut di Indonesia.
“Jadi paling nggak ada dua titik kan, Senayan sama Karawang. Intinya nanti kalau punya mobil hidrogen juga bisa juga diisi gitu. Dan jaraknya lebih panjang sih, karena tekanannya 700 bar,” ujar dia.
Untuk semakin meramaikan SPBH tersebut di Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) tengah menggodok berbagai regulasi dan juga peta jalannya.
Saat ini, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tengah menjadi pembahasan di kementerian terkait untuk dijadikan Undang-undang.
“RUKN yang kemarin kan akhirnya sudah disetujui dari DPR. Terus dikirim ke pemerintah. Nanti dari pemerintah akan diundangkan sebentar lagi. Mudah-mudahan cepat nih,” tutur dia.
Pemerintah saat ini telah menerapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui implementasi peningkatan target pengurangan emisi karbon secara total (Enhanced-Nationally Determined Contribution/E-NDC) dari 29 persen atau 835 juta ton karbondioksida, menjadi 32 persen atau 912 juta ton CO2 pada tahun 2030.