Surabaya (ANTARA
News) - Kepala Laboratorium Teknik Pembakaran dan Bahan Bakar di
Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Prof. Dr. Ir. H Djoko Sungkono
M.Eng.Sc menemukan water to gas (air dijadikan gas) sebagai energi alternatif untuk menghemat bahan bakar minyak (BBM).
"Saya sudah menelitinya sejak tahun 2007, bahkan saya mulai memakainya sejak tahun 2009. Alhamdulillah, alat HHO (Hydrogen Booster) yang mengalihkan air ke gas itu mampu menghemat solar atau bensin hingga 36 persen," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Senin.
Menurut dia, alat HHO yang harganya Rp800.000 dan belum diproduksi secara massal (masih internal ITS) itu prinsipnya merupakan alat yang memisahkan H2O menjadi H2 dan O secara elektrolisa.
"H2 yang sudah dipisahkan dari O itulah yang akan menghasilkan energi (gas) yang luar biasa bila ada proses pembakaran di dekatnya," katanya.
Saat ini, kata guru besar Fakultas Teknologi Industri ITS itu, water to gas yang diriset sudah memasuki generasi ke-16, namun riset akan terus dikembangkan, baik konsep maupun alatnya.
"Alat HHO yang ada saat ini berupa tabung air murni berukuran 15x20 centimeter. Satu cc air murni akan habis untuk jarak 70 kilometer, sehingga kalau satu liter air murni ya bisa untuk jarak ribuan kilometer," katanya.
Secara terpisah, Pembantu Rektor (PR) I ITS Surabaya Prof Ir Herman Sasongko menegaskan bahwa dirinya sebagai mantan Kepala Jurusan Teknik Mesin FTI ITS sudah mencoba alat HHO yang saat itu masih hemat 30 persen.
"Jadi, kalau pemerintah memang mau mengembangkan alat itu untuk aplikasi di masyarakat melalui tahapan produksi, saya kira perlu riset lanjutan, bahkan kalau sudah dipakai masyarakat pun masih perlu riset terus menerus dan ITS siap untuk itu," katanya.
(ANT)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Saya sudah menelitinya sejak tahun 2007, bahkan saya mulai memakainya sejak tahun 2009. Alhamdulillah, alat HHO (Hydrogen Booster) yang mengalihkan air ke gas itu mampu menghemat solar atau bensin hingga 36 persen," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Senin.
Menurut dia, alat HHO yang harganya Rp800.000 dan belum diproduksi secara massal (masih internal ITS) itu prinsipnya merupakan alat yang memisahkan H2O menjadi H2 dan O secara elektrolisa.
"H2 yang sudah dipisahkan dari O itulah yang akan menghasilkan energi (gas) yang luar biasa bila ada proses pembakaran di dekatnya," katanya.
Saat ini, kata guru besar Fakultas Teknologi Industri ITS itu, water to gas yang diriset sudah memasuki generasi ke-16, namun riset akan terus dikembangkan, baik konsep maupun alatnya.
"Alat HHO yang ada saat ini berupa tabung air murni berukuran 15x20 centimeter. Satu cc air murni akan habis untuk jarak 70 kilometer, sehingga kalau satu liter air murni ya bisa untuk jarak ribuan kilometer," katanya.
Secara terpisah, Pembantu Rektor (PR) I ITS Surabaya Prof Ir Herman Sasongko menegaskan bahwa dirinya sebagai mantan Kepala Jurusan Teknik Mesin FTI ITS sudah mencoba alat HHO yang saat itu masih hemat 30 persen.
"Jadi, kalau pemerintah memang mau mengembangkan alat itu untuk aplikasi di masyarakat melalui tahapan produksi, saya kira perlu riset lanjutan, bahkan kalau sudah dipakai masyarakat pun masih perlu riset terus menerus dan ITS siap untuk itu," katanya.
(ANT)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012