Pontianak (ANTARA Kalbar) - Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Barat mendesak adanya kontribusi dari puluhan ribu ekor ikan arwana jenis super red (Sclerofagus formosus) yang diekspor ke berbagai negara tiap tahun.
"Pemerintah perlu melimpahkan wewenang pengelolaan ikan arwana dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen Perikanan Budidaya di tingkat pusat dan Dinas Kelautan Perikanan di tingkat daerah), khususnya untuk arwana hasil penangkaran," kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalbar, Gusti Effendi di Pontianak, Minggu.
Menurut dia, ikan arwana super red yang diekspor tersebut bukan berasal dari tangkapan melainkan hasil penangkaran. Saat ini, lanjut dia, ada 125 penangkar ikan arwana di Kalbar.
Ia menambahkan, pengelolaan pengusahaan penangkaran ikan arwana sebagai ikan hias masih ditangani oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Kementerian Kehutanan.
Padahal, ungkap dia, ada Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 04/MEN/2010 tanggal 8 Februari 2012.
Aturan tersebut menegaskan bahwa surat izin penangkaran atau pengembangbiakan ikan arwana dan surat izin perdagangan ikan arwana diterbitkan oleh Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ia menegaskan, permintaan adanya pelimpahan dan pembagian kewenangan sudah dikonsultasikan Komisi B ke Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu.
Komisi B DPRD Provinsi Kalbar sepakat bahwa pelestarian sangat perlu karena ikan arwana adalah spesies langka sehingga pengelolaannya dapat ditangani oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Namun, untuk ikan arwana hasil penangkaran, diharapkan dapat dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, sudah ada kesepakatan dengan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan tentang penyerahan kewenangan ini secara bertahap.
"Pemprov sebagai pemilik habitat endemik ikan arwana super red berhak mendapatkan penghasilan dari izin usaha budidaya dan perdagangan ikan arwana hasil budidaya yang dilakukan oleh para penangkar," katanya menegaskan.
Kewenangan yang masih melekat di Balai Konservasi Sumber Daya Alam menyulitkan dalam pembinaan terhadap usaha budidaya ikan arwana. Meski teknologi pembenihan ikan arwana super red harus diakui sudah dikuasai oleh masyarakat Kalbar, khususnya para penangkar, namun untuk mengoptimalkan usaha budidaya pembenihan sehingga dapat berkembang lebih pesat dan setiap lapisan masyarakat dapat melakukan usaha budidaya ikan tersebut maka perlu dilakukan pembinaan teknis oleh pihak yang membidangi perikanan.
Saat ini, terdapat 125 unit jumlah penangkar yang terdaftar di Kalbar. Sedangkan untuk eksportir, ada 22 penangkar. Ekspor ikan arwana super red tahun 2009 sebanyak 16.364 ekor, naik pada tahun 2010 menjadi 22.510 ekor. Tujuan ekspor yakni Singapura, Malaysia, China dan Taiwan. Harga anakan berukuran 12 - 15 centimeter Rp7 juta per ekor, sementara induk ikan arwana super red berkisar antara Rp12 juta hingga Rp40 juta per ekor.
Komisi B DPRD Provinsi Kalbar berencana untuk menindaklanjuti masalah tersebut dengan berkonsultasi ke Kementerian Kehutanan secepatnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Pemerintah perlu melimpahkan wewenang pengelolaan ikan arwana dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen Perikanan Budidaya di tingkat pusat dan Dinas Kelautan Perikanan di tingkat daerah), khususnya untuk arwana hasil penangkaran," kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalbar, Gusti Effendi di Pontianak, Minggu.
Menurut dia, ikan arwana super red yang diekspor tersebut bukan berasal dari tangkapan melainkan hasil penangkaran. Saat ini, lanjut dia, ada 125 penangkar ikan arwana di Kalbar.
Ia menambahkan, pengelolaan pengusahaan penangkaran ikan arwana sebagai ikan hias masih ditangani oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Kementerian Kehutanan.
Padahal, ungkap dia, ada Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 04/MEN/2010 tanggal 8 Februari 2012.
Aturan tersebut menegaskan bahwa surat izin penangkaran atau pengembangbiakan ikan arwana dan surat izin perdagangan ikan arwana diterbitkan oleh Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ia menegaskan, permintaan adanya pelimpahan dan pembagian kewenangan sudah dikonsultasikan Komisi B ke Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu.
Komisi B DPRD Provinsi Kalbar sepakat bahwa pelestarian sangat perlu karena ikan arwana adalah spesies langka sehingga pengelolaannya dapat ditangani oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Namun, untuk ikan arwana hasil penangkaran, diharapkan dapat dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, sudah ada kesepakatan dengan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan tentang penyerahan kewenangan ini secara bertahap.
"Pemprov sebagai pemilik habitat endemik ikan arwana super red berhak mendapatkan penghasilan dari izin usaha budidaya dan perdagangan ikan arwana hasil budidaya yang dilakukan oleh para penangkar," katanya menegaskan.
Kewenangan yang masih melekat di Balai Konservasi Sumber Daya Alam menyulitkan dalam pembinaan terhadap usaha budidaya ikan arwana. Meski teknologi pembenihan ikan arwana super red harus diakui sudah dikuasai oleh masyarakat Kalbar, khususnya para penangkar, namun untuk mengoptimalkan usaha budidaya pembenihan sehingga dapat berkembang lebih pesat dan setiap lapisan masyarakat dapat melakukan usaha budidaya ikan tersebut maka perlu dilakukan pembinaan teknis oleh pihak yang membidangi perikanan.
Saat ini, terdapat 125 unit jumlah penangkar yang terdaftar di Kalbar. Sedangkan untuk eksportir, ada 22 penangkar. Ekspor ikan arwana super red tahun 2009 sebanyak 16.364 ekor, naik pada tahun 2010 menjadi 22.510 ekor. Tujuan ekspor yakni Singapura, Malaysia, China dan Taiwan. Harga anakan berukuran 12 - 15 centimeter Rp7 juta per ekor, sementara induk ikan arwana super red berkisar antara Rp12 juta hingga Rp40 juta per ekor.
Komisi B DPRD Provinsi Kalbar berencana untuk menindaklanjuti masalah tersebut dengan berkonsultasi ke Kementerian Kehutanan secepatnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012