Pontianak (ANTARA) - Anggota Komisi V DPRD Kalimantan Barat, Muhammad Darwis, meminta agar sistem barcode dalam pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dihapus. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, justru semakin menyulitkan dalam memperoleh BBM.
“Sistem ini seharusnya dirancang untuk mempermudah masyarakat, bukan menambah beban dalam proses pembelian BBM. Jika dalam praktiknya justru menyulitkan, maka sebaiknya dihapus,” kata Darwis di Pontianak, Selasa.
Ia juga menyoroti dugaan korupsi di PT Pertamina yang dikabarkan telah merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Menurutnya, kasus ini semakin menunjukkan bahwa sistem pengelolaan BBM di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang perlu segera dibenahi.
"Selama ini masyarakat percaya bahwa BBM yang mereka beli asli dan sesuai standar. Namun, adanya dugaan pengoplosan justru merugikan konsumen karena dapat mempercepat kerusakan kendaraan," ujarnya.
Darwis menilai sistem barcode yang diterapkan di SPBU belum mampu memastikan distribusi BBM bersubsidi tepat sasaran. Ia menilai, apabila di tingkat atas masih terjadi kecurangan, maka penggunaan barcode tidak akan efektif dalam mencegah penyimpangan.
"Jika masalah utama ada di tingkat pengelolaan, maka barcode ini menjadi tidak berarti. Masyarakat tetap dirugikan dan harus menghadapi kesulitan dalam mendapatkan BBM," tambahnya.
Sebagai solusi, Darwis meminta gubernur baru Kalimantan Barat untuk mengambil langkah konkret dengan menghapus sistem barcode pada SPBU di wilayahnya. Menurutnya, langkah tersebut akan mempermudah masyarakat dalam mengakses BBM bersubsidi.
Ia juga mengacu pada kebijakan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Muzakir Manaf, yang telah mengusulkan penghapusan sistem barcode dalam pembelian Pertalite karena dinilai tidak memberikan manfaat signifikan.
"Kita membutuhkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Jika gubernur berani mengambil keputusan ini, saya akan mendukung sepenuhnya," ujarnya.
Lebih lanjut, legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu juga mengusulkan agar pemerintah daerah segera membentuk tim independen yang bertugas mengawasi kualitas BBM di seluruh SPBU di Kalimantan Barat.
"Pemerintah daerah harus memastikan BBM yang dijual di SPBU sesuai dengan standar, sehingga masyarakat tidak lagi dirugikan akibat dugaan BBM oplosan," tuturnya.
Pertamina Tegaskan Tidak Ada Pengoplosan Pertamax
Sementara itu, menanggapi berbagai isu yang beredar di masyarakat dan media, Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa tidak ada praktik pengoplosan BBM Pertamax. Perusahaan memastikan kualitas Pertamax tetap sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, yakni Research Octane Number (RON) 92.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing. Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat sejak awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” kata Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, dalam keterangannya, Sabtu.
Heppy menjelaskan bahwa proses di terminal utama BBM hanya mencakup injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar lebih mudah dikenali masyarakat, serta injeksi additive untuk meningkatkan performa Pertamax.
"Jadi bukan pengoplosan atau perubahan RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax," tegasnya.
Pertamina Patra Niaga juga menegaskan bahwa pihaknya menerapkan prosedur pengawasan yang ketat dalam proses Quality Control (QC). Distribusi BBM Pertamina juga berada dalam pengawasan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
"Kami selalu menaati prosedur yang ditetapkan dan memastikan kualitas BBM tetap terjaga. Distribusi BBM juga diawasi oleh BPH Migas,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dalam penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen.