Pamekasan (ANTARA Kalbar) - Budayawan Nasional asal Sumenep, Madura, D Zawawi Imron menyatakan, karapan sapi di Madura pada waktu dulu tanpa kekerasan.
"Dulu alat yang digunakan 'sagersa' untuk membuat sapi berlari dengan kencang," kata Zawawi saat ditemui usai menjadi pembicara dalam acara silaturahmi Forum Komunikasi Ormas Islam dan Tokoh Masyarakat di SMK Negeri 3 Pamekasan, Sabtu.
"Sagersa", Bahasa Madura, artinya sebuah alat semacam pecut yang terbuat dari dedaunan kering, seperti daun pisang, daun kelapa ataupun daun siwalan.
Zawawi mengaku, mengetahui secara langsung praktik karapan sapi karena sering menonton saat masih anak-anak.
Dalam perkembangannya, pola pelaksanaan karapan sapi yang digelar masyarakat di Madura berubah. Para pemilik karapan sapi menggunakan "rekeng" yakni alat sejenis pecut yang dipenuhi paku-paku kecil, dan digarukkan pada pantat sapi agar larinya lebih kencang.
Tidak hanya itu saja, pemilik sapi memoleskan balsam pada mata dan dubur sapi, sebelum sapi diadu dengan tujuan agar larinya sangat kencang.
"Saya sendiri sebenarnya kurang mengetahui secara pasti praktik yang terjadi saat ini, sudah jarang menonton secara langsung," kata dia.
Terkait dengan adanya usulan larangan praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi, budayawan yang juga penyair yang terkenal dengan puisi "Celurit Emas" itu, menyatakan, perlu adanya komunikasi intensif dan sosialisasi kepada semua pihak.
Baik, kata dia, kepada pemilik sapi karapan, instansi pemerintahan, ataupun pada tokoh masyarakat yang ada di Madura.
Sebelumnya, para ulama dari berbagai ormas Islam di Madura, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra), Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP2SI) serta Forum Musyawarah Ulama (FMU) menolak praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi.
Alasan mereka, selain dilarang dari sisi ketentuan hukum agama atau syariat Islam, kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk pada hewan, juga dilarang oleh ketentuan hukum positif atau undang-undang.
Para ulama dan tokoh masyarakat penyayang binatang se-Madura itu juga menyatakan, tidak ingin, praktik kekerasan dipertontonkan kepada masyarakat luar negeri, karena saat ini saja, pandangan masyarakat luar tentang karapan sapi sudah negatif.
(ZIZ)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Dulu alat yang digunakan 'sagersa' untuk membuat sapi berlari dengan kencang," kata Zawawi saat ditemui usai menjadi pembicara dalam acara silaturahmi Forum Komunikasi Ormas Islam dan Tokoh Masyarakat di SMK Negeri 3 Pamekasan, Sabtu.
"Sagersa", Bahasa Madura, artinya sebuah alat semacam pecut yang terbuat dari dedaunan kering, seperti daun pisang, daun kelapa ataupun daun siwalan.
Zawawi mengaku, mengetahui secara langsung praktik karapan sapi karena sering menonton saat masih anak-anak.
Dalam perkembangannya, pola pelaksanaan karapan sapi yang digelar masyarakat di Madura berubah. Para pemilik karapan sapi menggunakan "rekeng" yakni alat sejenis pecut yang dipenuhi paku-paku kecil, dan digarukkan pada pantat sapi agar larinya lebih kencang.
Tidak hanya itu saja, pemilik sapi memoleskan balsam pada mata dan dubur sapi, sebelum sapi diadu dengan tujuan agar larinya sangat kencang.
"Saya sendiri sebenarnya kurang mengetahui secara pasti praktik yang terjadi saat ini, sudah jarang menonton secara langsung," kata dia.
Terkait dengan adanya usulan larangan praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi, budayawan yang juga penyair yang terkenal dengan puisi "Celurit Emas" itu, menyatakan, perlu adanya komunikasi intensif dan sosialisasi kepada semua pihak.
Baik, kata dia, kepada pemilik sapi karapan, instansi pemerintahan, ataupun pada tokoh masyarakat yang ada di Madura.
Sebelumnya, para ulama dari berbagai ormas Islam di Madura, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra), Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP2SI) serta Forum Musyawarah Ulama (FMU) menolak praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi.
Alasan mereka, selain dilarang dari sisi ketentuan hukum agama atau syariat Islam, kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk pada hewan, juga dilarang oleh ketentuan hukum positif atau undang-undang.
Para ulama dan tokoh masyarakat penyayang binatang se-Madura itu juga menyatakan, tidak ingin, praktik kekerasan dipertontonkan kepada masyarakat luar negeri, karena saat ini saja, pandangan masyarakat luar tentang karapan sapi sudah negatif.
(ZIZ)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012