Jakarta (ANTARA Kalbar) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyarankan kepada pemerintah agar memisahkan anggaran perjalanan dinas dengan anggaran belanja barang untuk meminimalisasi perjalanan dinas fiktif.
Wakil Ketua BPK RI Hasan Bisri di Jakarta, Selatan mengungkapkan, biaya anggaran perjalanan dinas selama ini disatukan dengan anggaran belanja barang, sehingga sulit untuk dikontrol dan diaudit.
"Salah satu kelemahannya adalah sistem akuntansi saat ini biaya perjalanan dinas tidak muncul dalam satu mata anggaran tersendiri, namun masuk menyelinap di mata anggaran belanja barang yang menyebabkan kontrolnya lemah," kata Hasan.
Menurutnya, anggaran perjalanan dinas seharusnya berdiri sendiri, tanpa menjadi bagian dari anggaran belanja barang.
"Dulu di APBN ada belanja pegawai, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, sekarang pemeliharaan dan anggaran dinas masuk belanja barang jadi tidak kelihatan," katanya.
Bahkan, anggota dewan sekalipun tidak mengetahui berapa besar dana yang diajukan oleh lembaga maupun kementerian untuk perjalanan dinas.
"DPR pun tidak tahu berapa besar anda mengajukan perjalanan dinas. Baru ketahuan bila anda disuruh mengumpulkan berkas-berkasnya," paparnya.
Ia menambahkan, tindakan penyelewengan anggaran perjalanan dinas terbesar dilakukan oleh pemerintah daerah sebab masih dilakukan dengan cara lump sum atau sesuai plafon anggaran. Sementara itu, pemerintah pusat sudah memiliki sistem anggaran at cost atau berdasarkan laporan perjalanan.
"Saya bisa menyakini pemerintah daerah yang besar pelanggarannya karena di daerah itu tidak ada 'at cost'. Bahkan, sulit dikontrol. Yang at cost saja masih bisa dikerjain (diselewengkan) apalagi yang tidak 'at cost'," katanya.
BPK sebelumnya mengungkapkan adanya kerugian negara/daerah akibat penyimpangan perjalanan dinas di pemerintah pusat dan daerah sepanjang semester I-2012 sebanyak 259 kasus senilai Rp77 miliar.
(SSB)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Wakil Ketua BPK RI Hasan Bisri di Jakarta, Selatan mengungkapkan, biaya anggaran perjalanan dinas selama ini disatukan dengan anggaran belanja barang, sehingga sulit untuk dikontrol dan diaudit.
"Salah satu kelemahannya adalah sistem akuntansi saat ini biaya perjalanan dinas tidak muncul dalam satu mata anggaran tersendiri, namun masuk menyelinap di mata anggaran belanja barang yang menyebabkan kontrolnya lemah," kata Hasan.
Menurutnya, anggaran perjalanan dinas seharusnya berdiri sendiri, tanpa menjadi bagian dari anggaran belanja barang.
"Dulu di APBN ada belanja pegawai, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, sekarang pemeliharaan dan anggaran dinas masuk belanja barang jadi tidak kelihatan," katanya.
Bahkan, anggota dewan sekalipun tidak mengetahui berapa besar dana yang diajukan oleh lembaga maupun kementerian untuk perjalanan dinas.
"DPR pun tidak tahu berapa besar anda mengajukan perjalanan dinas. Baru ketahuan bila anda disuruh mengumpulkan berkas-berkasnya," paparnya.
Ia menambahkan, tindakan penyelewengan anggaran perjalanan dinas terbesar dilakukan oleh pemerintah daerah sebab masih dilakukan dengan cara lump sum atau sesuai plafon anggaran. Sementara itu, pemerintah pusat sudah memiliki sistem anggaran at cost atau berdasarkan laporan perjalanan.
"Saya bisa menyakini pemerintah daerah yang besar pelanggarannya karena di daerah itu tidak ada 'at cost'. Bahkan, sulit dikontrol. Yang at cost saja masih bisa dikerjain (diselewengkan) apalagi yang tidak 'at cost'," katanya.
BPK sebelumnya mengungkapkan adanya kerugian negara/daerah akibat penyimpangan perjalanan dinas di pemerintah pusat dan daerah sepanjang semester I-2012 sebanyak 259 kasus senilai Rp77 miliar.
(SSB)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012