Jakarta (Antara Kalbar) - Isu perdagangan anak kembali muncul di pemberitaan media massa setelah aparat Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat mengungkap praktik penjualan bayi oleh sindikat internasional.

Kepala Unit Jatanras Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Polisi Marbun mengatakan sindikat tersebut menjalankan modus dengan cara mencari bayi dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi.

Menurut dia, para pelaku diduga membeli bayi dengan harga mencapai puluhan juta per bayi dari keluarga miskin dan menjualnya kembali kepada keluarga kalangan atas yang tidak memiliki anak.

Beragam faktor diduga melandasi sekaligus memuluskan praktik melanggar hukum tersebut. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Jazuli Juwaini menilai masalah kemiskinan menjadi salah satu penyebab praktik perdagangan anak.

"Karena dirundung kemiskinan, orang tua mudah diiming-imingi bantuan biaya persalinan dan perawatan bayinya oleh para sindikat perdagangan anak," kata Jazuli.

Dia meminta pemerintah pusat maupun daerah secara bersama-sama berkoordinasi dan secara serius mengentaskan kemiskinan, agar rakyat bisa mandiri secara ekonomi, sehingga rakyat tidak mudah terjebak iming-iming penjualan anak bermotif ekonomi.

Politisi Fraksi PKS itu mengaku prihatin dengan kejadian penjualan anak balita. Dia mengharapkan para orang tua dapat bersikap hati-hati dan tidak mudah terjebak iming-iming apa pun, meskipun dalam kondisi sulit secara ekonomi.

Jazuli juga mendorong aparat kepolisian untuk terus menyelidiki secara tuntas eksistensi sindikat penjual anak, serta menindak tegas seluruh pihak yang berkaitan dengan sindikat tersebut.

Menurut Jazuli, sejatinya pemerintah telah menyediakan panti sosial penitipan anak bagi orang tua yang tidak mampu merawat dan membesarkan anaknya. Panti sosial tersebut berada di bawah koordinasi Kementerian Sosial dan pemerintah daerah.

"Namun panti sosial terbatas kemampuannya, makanya harus diselesaikan dari sumber utamanya yaitu kemiskinan," kata Jazuli.

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait mengatakan berdasarkan pengakuan para sindikat perdagangan anak yang ditangkap aparat kepolisian, aksi perdagangan anak itu sudah dilakukan selama 20 tahun sejak 1992. Dia menduga sudah ratusan anak Indonesia yang saat ini berada di luar negeri karena dijual.

"Sindikat ini pemain lama yang terorganisir. Ada anggotanya yang bekerja secara personal mencari balita-balita yang orang tuanya miskin untuk dibiayai dan dirawat, tapi kemudian di jual," ujar dia.

Arist sependapat bahwa kemiskinan menjadi salah satu faktor perdagangan anak. Oleh karena itu Arist mengharapkan pemerintah melalui dinas kesehatan dan dinas sosial dapat memberikan jawaban konkret atas permasalahan biaya persalinan yang kerap menimpa para ibu yang tidak mampu.

Di sisi lain Arist juga menilai ada faktor permasalahan sosial yang melandasi praktik perdagangan anak, terutama terkait kesiapan orang tua dalam memiliki anak. Dia mengusulkan agar Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak hanya mengkampanyekan paradigma dua anak lebih baik, namun juga sosialisasi kesiapan orang tua untuk memiliki anak.

"Yang terpenting bukan dua anak lebih baik, tapi kesiapan orang tua untuk memiliki anak. Kalau tidak siap sebaiknya menunda kelahiran dulu," kata dia.

    
                  Pejabat diduga terlibat
Menurut Arist praktik perdagangan anak, khususnya penjualan ke negara lain, akan sulit dilakukan para pelaku tanpa campur tangan otoritas terkait. Dia menduga ada oknum pejabat pemerintahan yang terlibat dalam memfasilitasi perdagangan balita yang belakangan ini marak diberitakan.

Menurut Arist, pejabat pemerintah bisa jadi membantu para sindikat perdagangan anak untuk mengubah akte kelahiran balita dan mengurus paspor untuk penjualan ke luar negeri.

"Urusan mengganti akte kelahiran dan paspor, itu berarti ada kerja sama dengan lembaga administratif yakni pejabat catatan sipil dan pejabat imigrasi," kata Arist.    

Arist menegaskan seluruh pihak yang terlibat perdagangan anak, baik penjual, pembeli dan termasuk pihak yang memfasilitasi, harus dikenakan sanksi hukum yang berlaku sesuai undang-undang.

Pakar Kriminologi Erlangga Masdiana menilai keterlibatan pejabat pemerintah dalam praktik perdagangan anak masih perlu pembuktian lebih lanjut, sebab penjualan anak ke luar negeri  bisa dilakukan para pelaku dengan memalsukan identitas anak.

"Bisa saja dipalsukan identitasnya. Tapi bisa juga ada peran pejabat pemerintah secara tidak langsung, misalnya pelaku menggunakan calo untuk mengurus paspor anak, dan kebetulan si calo memiliki kedekatan dengan petugas imigrasi bersangkutan, sehingga memudahkan," kata Erlangga.

Kemungkinan lain menurut dia, tidak adanya sistem validasi yang mumpuni di kantor keimigrasian, sehingga memudahkan pelaku memalsukan identitas anak tanpa teridentifikasi.

Erlangga menilai fenomena perdagangan anak umumnya dilandasi motif ekonomi yang didukung adanya kesempatan atau peluang.

"Motif dari pelaku biasanya bisnis, sedangkan dari orang tua yang menjual itu biasanya karena dilandasi kebutuhan dasar yang mendesak. Ini semua karena kurangnya sekuritas atau pengamanan termasuk di rumah sakit tempat persalinan, di mana orang asing bebas keluar masuk rumah sakit," ujar dia.

Menurut pengamatan Erlangga, praktik perdagangan anak di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1960-an. Fakta yang kerap terjadi, kata dia, para korban yang dijual ke luar negeri akan dibesarkan untuk dipaksa ikut dalam bisnis seksual, atau mengalami pemaksaan transplantasi organ tubuh.

        
                          Berdayakan RT/RW
Ketua Dewan Pembina Komisi Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi (Kak Seto) mengatakan upaya pencegahan kejahatan perdagangan anak bisa dilakukan melalui pemberdayaan pengurus RT/RW.

Menurut Kak Seto, pengurus RT/RW dapat membentuk satgas perlindungan anak yang fokus melakukan tugas-tugas perlindungan di lingkungannya.

"Pemberdayaan RT/RW menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya menghadapi kejahatan perdagangan anak ini," kata Kak Seto.

Menurut Kak Seto, sejauh ini KPAI telah mempelopori pembentukan satgas perlindungan tingkat RT/RW di sejumlah wilayah. Dia mengharapkan setiap daerah dapat melakukan hal serupa, sehingga perlindungan anak dapat dimulai dari lingkungan tempat tinggal.

"Di tingkatan RT/RW kan ada pengurus seperti ketua, sekretaris, bendahara dan lain sebagainya. Harapan kami ada satu bagian khusus yang bekerja untuk perlindungan anak," kata dia.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013