Pontianak (Antara Kalbar) - Gubernur Kalimantan Barat Cornelis
mengingatkan persoalan lahan terutama yang menyangkut masalah perkebunan
dapat berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang sehingga harus
diantisipasi sejak dini.
"Persoalan ini terutama timbul karena penerima izin egois, tidak mempertimbangkan rasa keadilan terutama ke masyarakat sekitar," kata Cornelis saat seminar tentang hukum adat di Pontianak, Rabu.
Ia mencontohkan, pada masa lalu, ada perusahaan yang mendapat Hak Pengusahaan Hutan hingga 50 tahun dengan luas ratusan ribu hektare. Perusahaan tersebut mempunyai kewajiban sesuai perjanjian yakni wajib memberi pendidikan ke masyarakat sekitar.
"Tetapi ketika kayu sudah habis, tidak ada masyarakat sekitar lahan yang disekolahkan, sampai S2," ujar dia.
Ia mengaku sejak tahun 1967, ketika masih duduk di bangku SMP, sudah memikirkan kenapa terjadi konflik sosial di wilayah itu. "Kenapa terus terjadi dan berulang kali," kata Cornelis.
Menurut dia, konflik yang terjadi di Kalbar karena Pancasila, pembukaan UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika, tidak diaplikasikan dengan baik.
"Kita tinggal di dalam NKRI, tetapi penyelenggaranya hanya mementingkan kelompok atau kaumnya saja sehingga hilang rasa keadilan," ujar mantan Bupati Landak itu.
Ia yakin, dengan sikap saling menghargai dan toleran, konflik tidak muncul. "Karena konflik, kita jadi miskin, bodoh, tertinggal di semua lini," katanya menegaskan.
Terkait hal itu, ia sepakat dengan Presiden yang meminta sebelum terjadi, konflik harus dicegah dan diantisipasi sejak dini.
Ia tidak setuju kalau terjadi permasalahan antara perusahaan perkebunan dan rakyat, aparat terutama kepolisian yang disodorkan. "Pemerintah lelah kalau harus mengurusi hal-hal seperti ini. Masalah ini seharusnya dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, mencari solusi terbaik," ujar dia.
Pihak perusahaan perkebunan, lanjut dia, kalau mempertimbangkan investasi jangka panjang, maka harus memperhatikan masyarakat lokal secara sungguh-sungguh dan adil. "Manajer di lapangan, gunakan orang setempat. Laksanakan kewajiban sesuai aturan," kata Cornelis.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan, penyelesaian masalah akan efektif kalau dituntaskan di lokasi. "Tetapi di Indonesia, pidana yang lebih dikedepankan," kata Yusril Ihza.
Sementara Pakar Hukum Adat dari Universitas Tanjungpura, Prof Tambun Anyang mengatakan, ada beberapa aturan yang harus dibenahi di dalam Undang-Undang. Misalnya pengertian tentang hutan adat.
"Hutan adat dimaksudkan sebagai hutan negara yang ada di dalam wilayah adat. Ini tidak sesuai dengan logika karena masyarakat adat sudah ada jauh lebih lama dibanding negara," ujar Tambun Anyang.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
"Persoalan ini terutama timbul karena penerima izin egois, tidak mempertimbangkan rasa keadilan terutama ke masyarakat sekitar," kata Cornelis saat seminar tentang hukum adat di Pontianak, Rabu.
Ia mencontohkan, pada masa lalu, ada perusahaan yang mendapat Hak Pengusahaan Hutan hingga 50 tahun dengan luas ratusan ribu hektare. Perusahaan tersebut mempunyai kewajiban sesuai perjanjian yakni wajib memberi pendidikan ke masyarakat sekitar.
"Tetapi ketika kayu sudah habis, tidak ada masyarakat sekitar lahan yang disekolahkan, sampai S2," ujar dia.
Ia mengaku sejak tahun 1967, ketika masih duduk di bangku SMP, sudah memikirkan kenapa terjadi konflik sosial di wilayah itu. "Kenapa terus terjadi dan berulang kali," kata Cornelis.
Menurut dia, konflik yang terjadi di Kalbar karena Pancasila, pembukaan UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika, tidak diaplikasikan dengan baik.
"Kita tinggal di dalam NKRI, tetapi penyelenggaranya hanya mementingkan kelompok atau kaumnya saja sehingga hilang rasa keadilan," ujar mantan Bupati Landak itu.
Ia yakin, dengan sikap saling menghargai dan toleran, konflik tidak muncul. "Karena konflik, kita jadi miskin, bodoh, tertinggal di semua lini," katanya menegaskan.
Terkait hal itu, ia sepakat dengan Presiden yang meminta sebelum terjadi, konflik harus dicegah dan diantisipasi sejak dini.
Ia tidak setuju kalau terjadi permasalahan antara perusahaan perkebunan dan rakyat, aparat terutama kepolisian yang disodorkan. "Pemerintah lelah kalau harus mengurusi hal-hal seperti ini. Masalah ini seharusnya dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, mencari solusi terbaik," ujar dia.
Pihak perusahaan perkebunan, lanjut dia, kalau mempertimbangkan investasi jangka panjang, maka harus memperhatikan masyarakat lokal secara sungguh-sungguh dan adil. "Manajer di lapangan, gunakan orang setempat. Laksanakan kewajiban sesuai aturan," kata Cornelis.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan, penyelesaian masalah akan efektif kalau dituntaskan di lokasi. "Tetapi di Indonesia, pidana yang lebih dikedepankan," kata Yusril Ihza.
Sementara Pakar Hukum Adat dari Universitas Tanjungpura, Prof Tambun Anyang mengatakan, ada beberapa aturan yang harus dibenahi di dalam Undang-Undang. Misalnya pengertian tentang hutan adat.
"Hutan adat dimaksudkan sebagai hutan negara yang ada di dalam wilayah adat. Ini tidak sesuai dengan logika karena masyarakat adat sudah ada jauh lebih lama dibanding negara," ujar Tambun Anyang.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013