Magelang (Antara Kalbar) - Hiruk-pikuk aktivitas perekonomian seakan belum mulai diputar oleh komunitas "Pecinan" di pusat pertokoan Jalan Pemuda Kota Magelang, Jawa Tengah, pagi itu dengan udara yang terasa sejuk.
Sebagian di antara mereka bersama keluarga berdiri di depan toko masing-masing untuk menyambut para biksu berjalan kaki melewatinya dalam prosesi pindapata, rangkaian perayaan Waisak 2557 BE atau 2013.
Setiap orang telah bersiap dengan angpau berisi sejumlah uang di tangan masing-masing untuk dimasukkan dalam bejana berwarna kuning emas dan perak yang dibawa para biksu.
Darasan satu kalimat doa berulang-ulang, seakan memberi warna takzim atas prosesi pindapata dilambungkan para biksu dari Sangha Mahayana dan Theravada itu sambil berjalan melewati trotoar barat dan timur kawasan pusat pertokoan "Pecinan" Kota Magelang.
"'Namo penche secia mo nifo'," demikian kalimat doa itu yang maksudnya "Terpujilah satu-satunya Guruku, Sakyamuni Buddha".
Prosesi pindapata dimulai dari Kelenteng Liong Hok Bio di kawasan pojok Alun-Alun Kota Magelang oleh para biksu dengan dipimpin Koordinator Dewan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Bante Tadisa Paramita Mahasthavira.
Selama beberapa saat, mereka berdoa di dalam kelenteng dengan diikuti umat sambil membawa hio. Bante Tadisa didampingi seorang biksu lainnya tampak memercikkan air suci ke beberapa altar di dalam kelenteng yang dibangun pada tahun 1864 oleh Kapitein Be Koen Wie atau Be Tjok Lok.
Tampak hadir, antara lain, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama A. Joko Wuryanto, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Walubi Jateng David Hermanjaya, seorang pemuka masyarakat Buddha Kota Magelang yang juga Ketua Yayasan Tri Bhakti Paul Candra Wesi Aji.
"Semoga umat selalu mendapatkan berkah kesabaran, kebijaksanaan, keluhuran, dan berkah rezeki menyertai kita semua," kata Bante Tadisa saat memimpin doa dengan berdiri tepat di depan pintu masuk altar utama kelenteng tersebut.
Ia juga mengajak umat berdoa untuk bangsa Indonesia agar mencapai kehidupan yang makmur, sejahtera, dan jauh dari berbagai rintangan serta bencana.
Sekitar 100 biksu berasal dari dua sangha itu, kemudian berjalan kaki beriringan menyusuri trotoal barat dan timur sepanjang 1,5 kilometer Jalan Pemuda Kota Magelang untuk menerima derma dari para umat.
Aparat kepolisian mengatur arus lalu lintas kendaraan umum menuju jalan utama di kota tersebut agar tetap lancar selagi para biksu dengan umat Buddha setempat menjalani tradisi pindapata, Kamis (23/5) pagi itu, dalam rangkaian Waisak 2013 yang puncaknya jatuh pada hari Sabtu (25/5).
Paul yang juga salah satu pemilik toko di kawasan "Pecinan" Kota Magelang itu mengatakan bahwa tradisi pindapata yang dilakukan para biksu bersama umat Buddha setempat mengadopsi nilai positif dalam keseharian masyarakat Buddha di Thailand.
"Sejak delapan tahun terakhir, setiap rangkaian Waisak di Candi Borobudur dan Mendut, kami juga menjalani pindapata," katanya.
Pindapata sebagai kesempatan umat Buddha memberikan derma kepada para biksu. Derma yang diberikan umat pada pindapata tahun-tahun lalu, berupa uang dan barang kebutuhan sehari-hari para biksu.
Akan tetapi, kata dia, selanjutnya pengurus Walubi sepakat bahwa derma pada pindapata di Kota Magelang itu dalam bentuk uang, dengan jumlah sesuai dengan kemampuan setiap umat.
"Agar lebih luwes dalam pemanfaatannya. Akan tetapi, tujuan pindapata ini adalah menyadarkan kita semua, terutama yang mampu untuk memiliki kekuatan berderma," katanya.
Bante Tadisa menjelaskan tentang berderma sebagai perbuatan kebaikan umat seperti yang diajarkan oleh Guru Agung Sang Buddha Gautama.
Tradisi pindapata setiap tahun oleh umat Buddha Kota Magelang, bertepatan dengan Waisak, menjadi kesempatan mereka untuk mewujudkan kedermaan melalui para biksu. Umat Buddha di berbagai kota lainnya di Indonesia juga menjalani tradisi pindapata saat Waisak.
"Dengan berderma, memberi pahala kepada masyarakat. Kesempatan berderma juga menghindarkan dari bencana. Pindapata sebagai persembahan rezeki umat untuk kepentingan kebajikan," katanya.
Dirjen Joko Wuryanto menganalogikan tentang berderma dalam prosesi pindapata seperti halnya orang menanam biji dan selanjutnya tumbuh menjadi buah.
"Kalau kita menanam satu biji, akan keluar buah dengan sendirinya. Makna dari pindapata ini melatih diri untuk mendapatkan karma baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang," katanya.
Setiap orang yang bekerja akan mendapatkan penghasilan, sedangkan sebagian dari penghasilan itu untuk disumbangkan kepada masyarakat sebagai derma. Bagi umat Buddha memberikan derma kepada biksu sebagai kebutuhan penting.
Kebutuhan hidup sehari-hari para biksu, kata dia, tergantung dari masyarakat Buddha. Biksu adalah pekerja dharma, sedangkan kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan kesehatan, disediakan oleh umat.
"Bagi umat, pindapata saat Waisak ini melatih kesadaran diri bahwa kita harus mampu memberikan sesuatu kepada yang patut diberikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
Sebagian di antara mereka bersama keluarga berdiri di depan toko masing-masing untuk menyambut para biksu berjalan kaki melewatinya dalam prosesi pindapata, rangkaian perayaan Waisak 2557 BE atau 2013.
Setiap orang telah bersiap dengan angpau berisi sejumlah uang di tangan masing-masing untuk dimasukkan dalam bejana berwarna kuning emas dan perak yang dibawa para biksu.
Darasan satu kalimat doa berulang-ulang, seakan memberi warna takzim atas prosesi pindapata dilambungkan para biksu dari Sangha Mahayana dan Theravada itu sambil berjalan melewati trotoar barat dan timur kawasan pusat pertokoan "Pecinan" Kota Magelang.
"'Namo penche secia mo nifo'," demikian kalimat doa itu yang maksudnya "Terpujilah satu-satunya Guruku, Sakyamuni Buddha".
Prosesi pindapata dimulai dari Kelenteng Liong Hok Bio di kawasan pojok Alun-Alun Kota Magelang oleh para biksu dengan dipimpin Koordinator Dewan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Bante Tadisa Paramita Mahasthavira.
Selama beberapa saat, mereka berdoa di dalam kelenteng dengan diikuti umat sambil membawa hio. Bante Tadisa didampingi seorang biksu lainnya tampak memercikkan air suci ke beberapa altar di dalam kelenteng yang dibangun pada tahun 1864 oleh Kapitein Be Koen Wie atau Be Tjok Lok.
Tampak hadir, antara lain, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama A. Joko Wuryanto, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Walubi Jateng David Hermanjaya, seorang pemuka masyarakat Buddha Kota Magelang yang juga Ketua Yayasan Tri Bhakti Paul Candra Wesi Aji.
"Semoga umat selalu mendapatkan berkah kesabaran, kebijaksanaan, keluhuran, dan berkah rezeki menyertai kita semua," kata Bante Tadisa saat memimpin doa dengan berdiri tepat di depan pintu masuk altar utama kelenteng tersebut.
Ia juga mengajak umat berdoa untuk bangsa Indonesia agar mencapai kehidupan yang makmur, sejahtera, dan jauh dari berbagai rintangan serta bencana.
Sekitar 100 biksu berasal dari dua sangha itu, kemudian berjalan kaki beriringan menyusuri trotoal barat dan timur sepanjang 1,5 kilometer Jalan Pemuda Kota Magelang untuk menerima derma dari para umat.
Aparat kepolisian mengatur arus lalu lintas kendaraan umum menuju jalan utama di kota tersebut agar tetap lancar selagi para biksu dengan umat Buddha setempat menjalani tradisi pindapata, Kamis (23/5) pagi itu, dalam rangkaian Waisak 2013 yang puncaknya jatuh pada hari Sabtu (25/5).
Paul yang juga salah satu pemilik toko di kawasan "Pecinan" Kota Magelang itu mengatakan bahwa tradisi pindapata yang dilakukan para biksu bersama umat Buddha setempat mengadopsi nilai positif dalam keseharian masyarakat Buddha di Thailand.
"Sejak delapan tahun terakhir, setiap rangkaian Waisak di Candi Borobudur dan Mendut, kami juga menjalani pindapata," katanya.
Pindapata sebagai kesempatan umat Buddha memberikan derma kepada para biksu. Derma yang diberikan umat pada pindapata tahun-tahun lalu, berupa uang dan barang kebutuhan sehari-hari para biksu.
Akan tetapi, kata dia, selanjutnya pengurus Walubi sepakat bahwa derma pada pindapata di Kota Magelang itu dalam bentuk uang, dengan jumlah sesuai dengan kemampuan setiap umat.
"Agar lebih luwes dalam pemanfaatannya. Akan tetapi, tujuan pindapata ini adalah menyadarkan kita semua, terutama yang mampu untuk memiliki kekuatan berderma," katanya.
Bante Tadisa menjelaskan tentang berderma sebagai perbuatan kebaikan umat seperti yang diajarkan oleh Guru Agung Sang Buddha Gautama.
Tradisi pindapata setiap tahun oleh umat Buddha Kota Magelang, bertepatan dengan Waisak, menjadi kesempatan mereka untuk mewujudkan kedermaan melalui para biksu. Umat Buddha di berbagai kota lainnya di Indonesia juga menjalani tradisi pindapata saat Waisak.
"Dengan berderma, memberi pahala kepada masyarakat. Kesempatan berderma juga menghindarkan dari bencana. Pindapata sebagai persembahan rezeki umat untuk kepentingan kebajikan," katanya.
Dirjen Joko Wuryanto menganalogikan tentang berderma dalam prosesi pindapata seperti halnya orang menanam biji dan selanjutnya tumbuh menjadi buah.
"Kalau kita menanam satu biji, akan keluar buah dengan sendirinya. Makna dari pindapata ini melatih diri untuk mendapatkan karma baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang," katanya.
Setiap orang yang bekerja akan mendapatkan penghasilan, sedangkan sebagian dari penghasilan itu untuk disumbangkan kepada masyarakat sebagai derma. Bagi umat Buddha memberikan derma kepada biksu sebagai kebutuhan penting.
Kebutuhan hidup sehari-hari para biksu, kata dia, tergantung dari masyarakat Buddha. Biksu adalah pekerja dharma, sedangkan kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan kesehatan, disediakan oleh umat.
"Bagi umat, pindapata saat Waisak ini melatih kesadaran diri bahwa kita harus mampu memberikan sesuatu kepada yang patut diberikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013