Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan, kebijakan atau persoalan menaikkan elpiji 12 kilogram merupakan kewenangan PT Pertamina (Persero), karena elpiji bukanlah barang bersubsidi.

"Karena elpiji 12 kilogram bukanlah barang bersubsidi, sehingga pemerintah harusnya tidak boleh mengintervensi Pertamina dengan melarang BUMN energi ini menyesuaikan atau menaikkan harga jual elpiji 12 kilogram," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulis yang diterima di Pontianak, Minggu.

Sofyano menjelaskan, elpiji 12 kilogram bukanlah barang bersubsidi, karena elpiji itu adalah produk bebas yang jual belinya bisa mengikuti mekanisme pasar maka otomatis pemerintah tidak bisa melarang Pertamina menaikkan harganya.

Penyesuaian harga elpiji 12 kilogram pada dasarnya tindakan korporasi mengingat Pertamina sebuah PT Persero dan elpiji 12 kilogram tidak ditetapkan pemerintah sebagai elpiji bersubsidi, maka penyesuaian harga jualnya murni aksi korporasi yang pada hakekatnya tidak memerlukan izin pemerintah, sepanjang penyesuaiannya tersebut telah ditetapkan dan disetujui oleh RUPS Pertamina.

Apalagi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina juga termasuk menteri BUMN, sehingga apabila penyesuaian harga sudah disetujui RUPS, berarti pemerintah telah setuju untuk dilakukannya penyesuaian harga jual, termasuk menaikkan atau menurunkan harga jual elpiji, katanya.

"Namun sayangnya, Pertamina kali ini, belum berani melakukan aksi korporasi menaikan harga jual elpiji 12 kilogram walau terbukti BUMN itu harus rugi sebesar Rp5 triliun/tahunnya," ungkap Sofyano.

Meski Kementerian Lembaga belum merestui usaha Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram seharusnya direksi Pertamina melakukan upaya diskusi dan pendekatan yang cerdas dengan seluruh stakeholder termasuk berupaya keras meyakinkan presiden dan menteri ESDM bahwa Pertamina salah besar jika dipaksa terus mensubsidi elpiji 12 kilogram, ujarnya.

Sementara itu, Mantan Direktur Pertamina Ari Soemarno juga menyayangkan, direksi Pertamina yang tidak memiliki keberanian untuk menyesuaikan harga elpiji 12 kilogram.

Namun di sisi lain, Ari menambahkan, seharusnya jika Pertamina mengusulkan untuk menaikan elpiji 12 kilogram maka konsekuensinya Pertamina harus menyampaikan juga proposal rencana untuk memperbaiki tata niaga distribusi dan penjualan elpiji subsidi tiga kilogram.

"Karena, kalau elpiji 12 kilogram dinaikkan, maka akan ada tren pengalihan penggunaan konsumsi elpiji dari 12 kilogram ke elpiji 3 kilogram," ungkapnya.

Menurut dia, karena itu, Pertamina wajib memperbaiki tata niaga penjualan elpiji subsidi dengan pola distribusi tertutup. Konsep penjualan elpiji subsidi tertutup dapat dilakukan dengan proses pengendalian penjualan hanya kepada konsumen yang terdaftar ketika konversi minyak tanah dilakukan.

Elpiji 3 kilogram jelas harus ditetapkan khusus bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang distribusinya dengan menggunakan sistem kartu konsumen atau kartu hijau yang telah diberikan kepada masyarakat yang berhak atas elpiji 3 kilogram ketika konversi minyak tanah dilakukan.

"Kartu konsumen itu, syarat bagi masyarakat untuk bisa mendapat elpiji subsidi 3 kilogram," tambah mantan tokoh pelaksana konversi minyak tanah ke elpiji tersebut.

Ari menyatakan, sistem penjualan tertutup diperkirakan mampu menghindari adanya pengalihan konsumsi elpiji 12 kg ke 3 kg. Hal itu harus disampaikan kepada pemerintah jika Pertamina berharap penyesesuaian harga elpiji 12 kg disetujui.

Jika tanpa ada pengendalian penjualan elpiji 3 kilogram, maka ketika Pertamina menaikkan harga jual elpiji 12 kilogram masyarakat pengguna elpiji 12 kilogram akan lari ke 3 kilogram sehingga bisa membuat subsidi elpiji membengkak.

"Inilah yang mungkin dikhawatirkan menteri ESDM sehingga selalu menolak usulan kenaikan harga elpiji 12 kilogram yang diusulkan direksi Pertamina," kata Ari Soemarno.***3***

(A057/S004)

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013