Jakarta (Antara Kalbar) - Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah tokoh masyarakat bertemu ketua Mahkamah Konstitusi untuk berkonsultasi tentang komersialisasi air yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Alam.

"Kami sudah mendaftarkan pengujian UU SDA. Ini merupakan kelanjutan dari jihad konstitusi," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin di Jakarta, Selasa.

Din mengatakan UU Sumber Daya Air termasuk UU yang dianggap meruntuhkan kedaulatan negara dan merugikan rakyat sebagai pengguna air lantaran telah dikomersialisasikan.

"Air itu kan 'public good', 'public need' yang seharusnya sepenuhnya digunakan untuk kemakmuran rakyat," katanya.          

Sementara Fahmi Idris, yang ikut dalam pertemuan tersebut dan salah satu pemohon, menilai penerapan UU SDA ini akan menimbulkan konflik SDA antara rakyat yang tidak memiliki kekuatan dengan sektor industri.      

Menurut dia, SDA ini seharusnya dapat dinikmati secara bebas untuk kepentingan masyarakat baik kebutuhan primer maupun kebutuhan pertanian, dan kebutuhan lainnya seperti dijamin Pasal 33 UUD 1945.    

"Kecenderungannya sudah mulai terasa karena semakin luas dan besar sektor industri air yang menguasai SDA. Konflik ini dilematis, satu pihak menguasai kegiatan ekonomi, pihak lain menguasai hajat hidup orang banyak sebagai kebutuhan dasar masyarakat," katanya.

Sedangkan Laode Ida mengatakan air adalah karunia Allah untuk yang dilimpahkan di muka bumi untuk kehidupan umat manusia yang jika dikomersialisasi dan diprivatisasi sangat riskan.

Hal ini juga dijamin dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menyebut air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dia juga mengeluhkan UU SDA ini membuka peluang komersialisasi dan privatisasi air dan faktanya harga air yang dikuasai perusahaan besar bisa jauh lebih mahal daripada bahan bakar.

Ketua MUI Amidhan berharap agar pengelolaan SDA jangan lagi diprivatisasi dan dikomersialisasi lagi dan pengelolaan SDA dikembalikan kepada negara untuk kepentingan rakyat.

"Negara yang mengatur pengelolaan air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," katanya.  

Menanggapi persoalan ini, Akil mengatakan persoalan ini sudah menyangkut kasus yang akan diperiksa MK sehingga tidak bisa menanggapi karena untuk menjaga independensi, imparsialitas, dan netralitas MK.

"Saya tidak bisa bicara perkara yang akan ditangani MK karena kami dituntut untuk itu (kode etik)," kata Akil.    

Namun, dia mengungkapkan pengujian UU SDA ini sudah lima kali diuji ke MK dan sebagian besar dinyatakan ditolak dan dikabulkan secara konstitusional bersyarat.

Dalam putusan itu, MK sudah memberikan tafsir konsepsi soal air, misalnya, air itu adalah benda sosial yang pengelolaan harus tunduk pada Pasal 33 UUD 1945 yang masuk ranah hukum publik.    

"Walaupun UU memberi peluang swasta untuk mengelola hak SDA, tetapi tidak berarti penguasaan SDA menjadi milik swasta. Itu sifat putusan dari putusan MK yang lalu," kata Akil.

Dalam putusan itu, lanjut Akil, pengelola wajib menanggung biaya pengelolaan air, tetapi dilarang untuk memahalkan harga air dengan alasan biaya pengelolaan tinggi.

"Jadi jangan sampai alasan biaya pengelolaan mahal, diperhitungkan untuk menaikkan harga air. Kami berharap prinsip dasar itu jadi dasar permohonan ini," katanya.

Pewarta: Joko Susilo

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013