Pontianak (ANTARA) - Aktivis perempuan dari Lembaga Gemawan Kalimantan Barat Laili Khairnur mendukung partisipasi dan keterlibatan penuh perempuan dalam program pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di Kalimantan Barat.
"Perempuan harus didukung untuk ikut andil dalam pengolahan SDA di Kalbar," kata Laili Khairnur, dalam diskusi daring "Peran Perempuan dalam Pengelolaan SDA, serta Mitigasi di saat Pandemi" kerja sama Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK), Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Citradaya Nita, di Pontianak, Sabtu.
Menurut Direktur Lembaga Gemawan itu, bentuk dukungan yang diberikan pihaknya melalui lembaga itu seperti memastikan peningkatan kapasitas kelompok perempuan dalam upaya percepatan pengusulan perhutanan sosial (PS) di berbagai wilayah kabupaten di Kalbar.
Gemawan Kalbar menurut dia, juga mendampingi dan melakukan pelatihan bagi kelompok perempuan yang berpartisipasi dalam perhutanan sosial.
"Dengan mendampingi akan memperkuat kelompok perempuan agar mereka berpartisipasi aktif dalam pengelolaan hutan dan lahan yang adil dan lestari," katanya menambahkan.
Selain itu, pihaknya juga mengangkat hak wanita dalam pengolahan hutan maupun lahan agar kesetaraan gender selalu terjaga. Pengelolaan lahan harus dilihat secara teliti dan dimanfaatkan sebaik mungkin dengan pelibatan kaum perempuan dan tanpa harus merusak.
Lembaga Gemawan juga melakukan penguatan akses perempuan dalam perhutanan sosial. Kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas kelompok perempuan dalam upaya percepatan pengusulan perhutanan sosial di berbagai wilayah kabupaten di Kalbar.
Kemudian mendampingi dan memperkuat kelompok perempuan agar berpartisipasi aktif dalam pengelolaan hutan dan lahan yang adil dan lestari.
"Memastikan penglibatan perempuan dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan dan lahan termasuk perhutanan sosial," kata dia menjelaskan.
Untuk memastikan partisipasi perempuan dalam setiap program pengelolaan SDA, Lembaga Gemawan memperkuat kelompok perempuan terlibat dalam setiap tahapan pengusulan skema perhutanan sosial, "community conservation and livelihood agreement (CCLA) program" , mulai dari perencanaan seperti pemetaan partisipatif, pengelolaan dan pengawasan.
Kelompok perempuan terlibat dalam proses pemetaan partisipatif wilayah usulan perhutanan sosial. Selain itu juga memastikan kelompok perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan.
"Kami memastikan kelompok perempuan terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan perhutanan sosial," kata dia lagi.
Ia menyatakan ketidaksetaraan gender masih menjadi salah satu hambatan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Banyak hal yang dicanangkan pemerintah dalam pembangunan, namun belum mampu dinikmati secara adil dan setara oleh perempuan dan kelompok lainnya yang rentan di masyarakat.
Termasuk bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang tidak melibatkan suara perempuan di dalamnya. Padahal perempuan mempunyai sifat melindungi dan merawat, hal-hal yang menjadi hajat hidupnya sehari-hari.
Isu keadilan gender menurut dia, sudah masuk dalam visi Lembaga Gemawan, sehingga dalam aktivitas apapun partisipasi perempuan dan laki-laki diupayakan selalu sama.
Lembaga yang berdiri tahun 1999 ini memiliki tujuan untuk memperkuat masyarakat lokal dan mendorong perubahan kebijakan dalam mencapai keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Sementara terkait pandemi, ia meyakini kerja dan upaya kedaulatan pangan sebenarnya membantu perempuan dalam mengatasi persoalan saat pandemi. "Perempuan petani selama pandemi ini aman karena mereka bisa mengambil konsumsi disitu. Yang susah itu yang terkait distribusi," katanya lagi.
Ia menegaskan, bahwa bagi perempuan gerakan menanam tanaman sayuran, pangan, herbal di pekarangan rumah ataupun "urban farming" juga sudah menjadi gerakan.
Sementara itu, anggota Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dalam kesempatan yang sama menyatakan lembaganya selama ini fokus kepada isu kekerasan.
"Dari waktu ke waktu kita juga menginventarisir mendukung upaya yang dihadapi perempuan. Beberapa peran yang spesifik," katanya.
Ia mengatakan, dilihat dari berbagai laporan konflik sumber daya alam jika diawali dengan upaya konsultasi yang partisipatif, hal itu tidak terjadi.
Menurut dia lagi Komnas Perempuan mencatat ketika pandemi terjadi konflik antarwarga.
Misalnya dalam persoalan tambang dan kebun di dalamnya ada kelompok masyarakat yang memiliki akses dan ada juga yang tidak punya akses. Ataupun ada yang tidak setuju ada kebun atau tambang.
Persoalan awalnya urusan tata kelola kemudian menjadi pertentangan antarmasyarakat. "Di dalam kelompok yang tidak diuntungkan tambang dan kebun, adalah yang betul-betul menolak. Dan mereka ini tipologinya orang yang hidupnya lebih berat karena kehilangan sumberdayanya," kata dia menjelaskan.
Kemudian perempuan menghadapi perusakan lingkungan hidupnya, akibat kebijakan eksploitasi alam, dalam dua tahun terakhir ini paling banyak terjadi dan kaum perempuan bukan lagi sebagai tameng.
"Dulu mereka paling depan dengan harapan aparat tidak terlalu keras. Menjadikan perempuan sebagai tameng akan memberikan risiko secara langsung," kata dia lagi.
Terkait persoalan yang dialami perempuan dalam pengelolaan SDA, ia berharap pemerintah bisa terus membuka ruang dialog dengan kelompok perempuan. ***3***
Aktivis dukung partisipasi perempuan dalam pengelolaan SDA di Kalbar
Minggu, 31 Oktober 2021 12:04 WIB