Jakarta (Antara Kalbar) - Sebagian besar gangguan penglihatan seperti "low vision" maupun kebutaan ditemukan di negara miskin dan berkembang namun lebih dari 80 kasus yang ditemukan sebenarnya dapat dicegah atau diobati.

"Yang utama adalah tindakan preventif promotif, penyebab utama kebutaan antara lain katarak, glaukoma dan sekarang penyakit-penyakit seperti diabetes juga ditemukan menyebabkan gangguan penglihatan juga," kata Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Dedi Kusenda dalam workshop peringatan Hari Kesehatan Mata Dunia di Jakarta, Rabu.

Pada tahun 2010 Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada 285 juta orang di dunia yang mengalami gangguan penglihatan dengan 39 juta diantaranya mengalami kebutaan dan 246 juta lainnya memiliki "low vision".

Dari data tersebut, 120 juta orang diantaranya mengalami gangguan penglihatan karena kelainan refraksi yang tidak terkoreksi yang sebenarnya bisa dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak atau bedah refraksi.

Sekitar 51 persen penyebab kebutaan adalah katarak dan 43 persen penyebab gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi.

"Operasi katarak dan pemberian kacamata merupakan upaya yang efektif dan efisien untuk penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan," ujar Dedi.

Penyebab kebutaan lain yang meningkat disebut Dedi adalah retinopati diabetik akibat diabetes yang tidak terkontrol.

Sementara kebutaan karena infeksi (onkosersiasis dan trakhoma) telah berhasil dieliminasi dengan kerjasama yang baik antara masyarakat dan swasta.

Salah satu cara sederhana untuk mencegah gangguan penglihatan disebut Dedi adalah dengan menggunakan topi atau kacamata untuk mengurangi sorotan sinar ultra violet yang masuk ke mata.

"Dulu petani kita selalu mengenakan caping jika bekerja di sawah, itu baik untuk mengurangi sorotan ultra violet ke mata. Sekarang sudah banyak yang mengabaikan ini," kata Dedi.

Biaya perawatan kesehatan mata ke spesialis yang mahal seringkali menjadi alasan masyarakat enggan untuk memeriksakan indra penglihatannya itu namun Dedi menepis hal itu karena saat ini pemeriksaan awal dapat dilakukan di puskesmas.

"Untuk puskesmas sudah kita siapkan 'screening' (penapisan) untuk mata. Gedung sudah ada, fasilitas ada, untuk tenaga kita juga kerjasama dengan Perdami," kata Dedi.

Ketua Persatuan Dokter Ahli Mata Indonesia (Perdami) Nila Moeloek menambahkan bahwa petugas kesehatan puskesmas telah terlatih untuk melakukan screening.

"Dokter puskesmas akan mengukur tekanan mata, jika melebihi ambang batas maka akan dirujuk ke dokter spesialis," kata Nila.

Perdami disebut Nila juga melakukan terobosan dengan menggelar bakti sosial untuk operasi katarak.

"Katarak bisa direhabilitasi, bukan buta permanen," ujarnya.

Bagi masyarakat yang telah berusia diatas 40 tahun, Nila menganjurkan untuk memeriksakan glaukoma mata setidaknya setahun sekali.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menemukan tingkat kebutaan masyarakat Indonesia sebesar 0,9 persen.

Pewarta: Arie Novarina

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013