Sambas (Antara Kalbar) - Sekitar delapan ribu atau tiga ribu kepala keluarga di lokasi Transmigrasi Satai, Kecamatan Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, saat ini sangat membutuhkan infrastruktur pendidikan dan jalan yang kini dalam kondisi memprihatinkan.

"Transmigrasi Satai seperti tidak ada di peta, sehingga terkesan dilupakan," kata Ketua Komite Pendidikan Masyarakat, Kecamatan Subah, Iskak, di Satai, Rabu.

Iskak menjelaskan, sejak pengelolaan Transmigrasi Satai diserahkan pada pemerintah daerah, infrastruktur jalan dan pendidikan tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah Kabupaten Sambas dan Provinsi Kalbar.

Transmigrasi Satai terdiri dari empat satuan pemukiman (SP), yakni SP A hingga SP D, dengan jumlah kepala keluarga sekitar tiga ribuan, dengan jumlah jiwa sekitar delapan ribuan.

Transmigrasi Satai berdiri sejak tahun 1982, dan baru disediakan fasilitas SDN sejak tahun 1984, yakni SDN 11 Satai, sekarang sudah empat SD, SMP dua unit, yaitu SMPN 2, dan SMPN V satu atap, sementara SMA tahun 2011 baru didirikan.

"Untuk SMA fasilitasnya kurang sehingga banyak anak-anak kami yang sekolah di Kota Sambas, harus sewa kost dengan Rp350 ribu/bulan atau total Rp1 juta untuk satu bulan, termasuk uang makan dan ongkos lainnya," ungkap Iskak.

Dalam kesempatan itu, Ketua Komite Pendidikan Masyarakat, Kecamatan Subah tersebut, menyambut baik dengan telah masuknya LSM "Save the Children" sehingga bisa memotivasi anak-anak lebih giat belajar yang sebelumnya cenderung turun akibat minimnya infrastruktur pendidikan dan jalan.

"Kami berharap program serupa terus berlanjut sehingga anak-anak kami dari keluarga tidak mampu bisa terus mengenyam pendidikan minimal hingga jenjang SMA/sederajat," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Program Manajer Save the Children Bambang Ertanto menyatakan, LSM perlindungan anak itu, saat ini melakukan perlindungan pekerja anak agar tetap bisa mengenyam pendidikan baik, pendidikan informal dan nonformal.

"Kami mulai melakukan program perlindungan terhadap terburuk pekerja atau pekerjaan terburuk bagi anak-anak usia sekolah di Kecamatan Subah dan Kecamatan Teluk Keramat sejak tiga tahun terakhir atau sejak tahun 2010," katanya.

Bambang menjelaskan, bentuk perlindungan yang "Save the Children" nekerja sama dengan LSM setempat, yakni penghapusan terburuk pekerja anak, karena mereka bekerja yang cukup berbahaya, yaitu menggunakan pestisida, sementara mereka masih usia belajar, sehingga dengan adanya perlindungan itu, diharapkan bisa belajar dengan penuh.

Sementara, terhadap anak-anak yang berusia di atas 15 tahun mereka tetap bekerja dengan persyaratan khusus, yakni jam kerja mereka harus dibatasi maksimal 15 jam seminggu.

"Kalau lebih dari itu harus dikurangi, agar anak-anak tersebut bisa mengenyam pendidikan baik formal maupun non formal, sehingga cukup bekerja tiga jam dalam seminggu, salah satu strategi kami menarik anak-anak itu dengan pendidikan" ujarnya.

Menurut dia, ada sebanyak 900 anak mulai dari SD hingga SMP yang dilakukan perlindungan dalam program "Save the Children" di Kabupaten Sambas. "Dari jumlah itu sekitar 30 persen diantaranya putus sekolah karena bekerja, tetapi telah mendapat perlindungan dan tidak mau lagi sekolah sehingga diarahkan ke lembaga kursus, dan pendidikan non formal.

Save the Children mulai melakukan sosialisasi bahaya anak bekerja, sejak tahun 2010 untuk di Kecamatan Subah dan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas.

Bambang menjelaskan, agar lebih efektif, "Save the Children" merangkul LSM yakni Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Sambas ikut dilibatkan, serta membentuk komite-komite pendidikan, untuk melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah dan di desa-desa tentang bahaya pekerja anak.

Deputi Program Manajer Save the Children menambahkan, program serupa juga dilakukan di Kecamatan Mukok dan Parindu di Kabupaten Sanggau, yang juga di kawasan perkebunan sawit, dengan jumlah anak yang mendapat perlindungan sebanyak 1.300 anak.

 

Pewarta: Andilala

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013