Kairo (Antara/AFP) - Rakyat Mesir berbaris di luar tempat-tempat pemungutan suasra pada Selasa untuk memberikan hak suara mereka mengenai referendum konstitusi baru.

Banyak orang mengatakan mereka tak membaca lagi apa yang tertera dalam surat suara tetapi akan menyetujui dukungan penggulingan Presiden Mohammd Moursi oleh militer.

Referendum itu telah diajukan oleh penguasa sebagai hal pertama dalam serangkaian pemungutan suara yang akan memulihkan pemerintahan terpilih pada akhir tahun.

Bagi banyak orang, referendum juga menjadi mosi percaya bagi panglima tentara Abdel Fattah al-Sisi, orang yang menggulingkan Moursi pada Juli dan sekarang mempertimbangkan untuk menjadi presiden.

"Saya memberikan suara sebab tidak hanya kewajiban sebagai warga negara tetapi juga membuktikan bahwa apa yang terjadi bukan kudeta," kata Omar (34), merujuk pada penggulingan Moursi pada 3 Juli lalu.

Moursi, presiden sipil pertama Mesir dan terpilih secara demokratis, disingkirkan Sisi menyusul protes-protes masif terhadap pemerintahannya yang telah berjalan setahun dan diduga tak beres mengurusi ekonomi dan tak membagi kekuasaan kepada pihak lain.

Penggulingannya dan penumpasan mematikan aksi para pendukungnya dari Ikhwanul Muslimin telah menimbulkan perpecahan di negara Arab yang berpenduduk padat itu.

Ikhwanul Muslimin, yang sekarang dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh penguasa dukungan militer itu, menyerukan referendum diboikot.

"Referendum adalah akhir Ikhwanul Muslimin. Kami nyatakan ya bagi masa depan dan tidak bagi Ikhwanul Muslimin," kata Galal Zaky, pemilik warung roti.

Wafaa Louis Tawadros, seorang pemeluk Kristen Koptik, berkata, "Ikhwanul Muslimin ingin memecah belah kami."
   
"Jadi saya setuju konstitusi ini karena jelas menyatakan kaum Kristen dan Muslim sederajat, dan juga laki-laki dan perempuan," kata dia.

Beberapa saat sebelum pemungutan suara, sebuah bom kecil meledak di luar satu pengadilan Kairo yang menyebabkan sedikit kerusakan dan tak ada yang terluka.

"Kami harus bersama polisi dan tentara sehingga tak seorangpun menteror kami. Bahkan jika sebuah bom meledak di tempat pemungutan suara tempat saya memilih, saya akan memberikan suara," kata Salwa Abdel Fattah, seorang ahli kandungan yang berusia 50 tahun, ketika dia menunggu giliran di luar TPS di satu sekolah Kairo yang dijaga puluhan tentara.

Dia menyebut Sisi sebagai Gamal Abdel Nasser, kolonel militer yang merupakan presiden antara 1954-1970. "Di bawah pemerintahan Nasser, segala sesuatunya berjalan baik. Begitu juga halnya di bawah Sisi," kata dia.

Pewarta:

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014