Sintang (Antara Kalbar) - Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Sintang tidak lama lagi. Memilih mekanisme pemilihan umum kepala daerah baik secara langsung atau melalui DPRD sudah harus dipikirkan sejak sekarang.

Pemerhati Politik Kabupaten Sintang, Kurniawan menilai memilih mekanisme rekrutmen kepala daerah baik secara langsung atau melalui DPRD ini tidak boleh kehilangan dari tiga konteks penting yaitu demokrasi lokal, desentralilasi dan efektivitas pemerintahan. “Rumitnya ketiga konteks tersebut tidak mudah dicapai secara bersamaan. Bahkan  terkadang antara satu dengan lainnya berpotensi saling meniadakan karena kondisi daerah yang memang berbeda,” katanya.

Dia mengatakan idealnya tiga konteks ini harus mampu ditegakkan oleh dua opsi  mekanisme rekrutmen yang ada. Kalau memilih mempertahankan pemilukada langsung, harus dibuktikan tiga konteks itu dapat secara nyata diwujudkan, bukan sekedar janji belaka. Begitu juga jika memilih pemilukada melalui DPRD, harus diyakinkan tiga konteks ini tidak dieleminir sebagian atau seluruhnya.

Ia menyampaikan jika mencermati sejarah, tahun 2005 lalu diputuskan memilih pemilukada langsung karena dianggap pemilukada melalui DPRD memacetkan demokrasi lokal sehingga suara dan partisipasi rakyat terabaikan. “Kemudian sembilan tahun menjalani pemilukada langsung dan hasilnya pil pahit harus ditelan yaitu otonomi daerah yang kebablasan serta pemerintahan yang kurang efektif. Bahkan ditambah dengan maraknya korupsi,” ujarnya.

Saat ini, lanjut dia, masyarakat Sintang berada dipersimpangan jalan, apakah harus terus berjalan mengunakan pemilukada langsung atau belok ke belakang yaitu pemilukada melalui DPRD. “Saya menawarkan saat di persimpangan jalan seperti itu, sebaiknya tidak harus jalan terus atau berbelok ke belakang. Tapi mengambil jalur lain yaitu menerapkan pemilukada langsung atau melalui DPRD secara bersamaan. Solusi alternatif ini dihadirkan karena kondisinya menunjukan dua opsi mekanisme ini sama-sama dibutuhkan,” jelas Kurniawan.

Dia menjelaskan bisa saja daerah A menerapkan pemilukada langsung, sementara daerah B menerapkan pemilkada melalui DPRD. Kriteria yang dipakai indeks Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di setiap daerah yang mencakup beberapa indikator seperti kebebasan sipil, hak politik dan lembaga demokrasi.

Apabila nilai IDI suatu daerah rendah, maka ditetapkan mekanisme pemilukada oleh DPRD, sedangkan daerah yang IDInya tinggi maka diterapkan mekanisme pemilukada langsung. “Tapi tujuan akhir harus menuju ke mekanisme pemilukada langsung sehingga bagi daerah-daerah yang menerapkan mekanisme pemilukada oleh DPRD selalu dibina agar naik kelas ke pemilukada langsung,” tegas Kurniawan.

Tawaran ini, katanya bisa menjadi win-win solution bagi penegakan tiga konteks secara bertahap dan menghargai kondisi lokal. Karena realitas yang ada menunjukan bahwa  kondisi lokal daerah tidak sama sehingga ada daerah yang siap dan ada pula daerah yang tidak siap dengan demokrasi langsung.

Dia mengatakan penilaian IDI setiap daerah, logikanya sama dengan pembagian DAU daerah selama ini. Hanya saja, penilain IDI ini harus akurat, profesional dan transparan melibat orang-orang daerah. Dengan tawaran ini pula, masyarakat belajar untuk tidak berpikir dikhotomis seperti dilakukan oleh anggota DPR saat ini, tapi berpikir eklektis-sinergis yang tidak keluar dari konteks lingkungan yang dimiliki.

Pewarta: Faiz

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014