Jakarta (Antara Kalbar) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melontarkan pertanyaan siapakah yang berhak memberi pengakuan agama atau kepercayaan tertentu dari suatu komunitas, apakah negara dan bagaimana pula bentuk pelayanan bagi penganut agama minoritas di Tanah Air.

Pertanyaan tersebut disampaikan di atas mimbar di hadapan para peserta seminar "Peta Masalah Pelayanan Negara Terhadap Kehidupan Beragama" di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Sabtu.

Pada seminar tersebut LHS, sapaan akrab Lukman Hakim Saifuddin, dengan sabar mendengarkan seluruh pembicara dari kalangan umat minoritas.

LHS yang ditemani beberapa pejabat eselon I, seperti Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Mubarok, staf ahli Menag Mahasin, sejak Pukul 09.30 - 12.30 WIB dengan tekun mendengarkan satu persatu pembicara.

Pada seminar itu bertindak selaku moderator Mahasin dengan pembicara Fajar (Maarif Institut), Pendeta Favor Bancin, Sheila Soraya (Bahai).

Peserta bukan hanya dari kalangan agama minoritas seperti Sunda Wiwitan, juga dari agama Tao dan Bahai.

Moderator sempat membatasi pembicara dan memprioritaskan dari kalangan penganut agama minoritas atau pemeluk agama lokal dan kalangan akademis seperti dari Universitas Indonesia (UI).

Seminar tersebut, lanjut LHS, merupakan hasil pertemuan Focus Group Discussion (FGD) dua hari lalu di Hotel Mercure, Jakarta.

FGD dibagi tiga kelompok:  (1) Perlindungan Negara Terhadap di luar enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu), (2) Perlindungan Negara Terhadap Syiah dan Ahmadiyah, dan (3) Penanganan Negara dalam Penyelesaian Kasus-kasus terkait Rumah Ibadat.

Lukman menjelaskan, perlu penyatuan persepsi siapa yang memiliki otoritas yang pantas menetapkan suatu komunitas sebagai pemeluk agama tertentu dengan kriterianya.

"Saya memang harus mendengarkan langsung dari seluruh pembicara. Lantas, kita petakan masalah. Yang penting ke depan, aksinya dan solusinya bagaimana," ia mengatakan.

Intinya, dari sisi urusan agama terkait dengan implementasi konstitusi, negara punya kewajiban melindungi dan memberi pelayanan seluruh umat beragama dengan segala kebutuhannya. Namun, ia melanjutkan, apakah negara punya otoritas untuk memberi pengakuan terhadap suatu komunitas sebagai pemeluk agama atau kepercayaan.

Ia mengakui secara administratif negara berkewajiban memberi pelayanan seperti pendidikan, kartu tanda penduduk (KTP), pernikahan dan sebagainya. Di sini, agama menjadi rana formal. Lantas, legalitas menjadi perlu. Jika agama tidak perlu ada pengakuan, lantas siapa di antara 240 juta penduduk Indonesia seharusnya dapat pelayanan negara.

Ia juga melontarkan pertanyaan. Apakah agama dan kepercayaan harus dibedakan atau dipisah pengertiannya. Ini perlu penyamaan persepsi pula. Negara, lagi-lagi, untuk memberi pelayanan butuh legalitas. Atau, lanjut dia, dalam menentukan suatu agama atau kepercayaan perlu ditetapkan bersama dengan seluruh majelis-mejelis agama, setidaknya melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Lukman mengatakan, dalam kehidupan beragama, toleransi harus dimaknai bahwa negara memahami terhadap faham yang berbeda. Negara dituntut berlaku adil, namun negara membutuhkan pemahaman.

Sebelumnya pada seminar tersebut, para pembicara menyampaikan hasil FGD. Khusus yang terkait dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9 dan 8 tahun 2006, peserta menilai bahwa Status hukum PBM dianggap kurang memiliki kekuatan hukum, kurangnya sosialisasi di masyarakat dan aparatur negara, Isi PBM masih banyak multi tafsir dan rentan penyalahgunaan (pasal 14 ayat 3 kata memfasilitasi; pasal 14 ayat 2 huruf b; tentang rekomendasi siapa yang lebih dulu antara kemenag dan FKUB).

Belum optimalnya koordinasi antar instansi terkait (Kepolisian, pengadilan, dinas tata kota, dan lain-lain).  Peran Forum Kerukunan Umat Beragama juga disoroti karena pengurus FKUB terkadang kurang memahami substansi PBM, Pola rekrutmen pengurus FKUB kurang aspiratif dan representatif. posisi FKUB yang tidak jelas dalam struktur pemerintahan, belum ada FKUB di tingkat nasional, peran dewan penasehat FKUB masih kurang maksimal dan tokoh adat belum didayagunakan secara maksimal oleh FKUB.

Syiah dan Ahmadiyah   

Terkait dengan Persoalan Syiah dan Ahmadiyah, dalam seminar tersebut diungkap bahwa masih dirasakan kurangnya informasi utuh mengenai permasalahan  tentang Syiah dan Ahmadiyah.

Komunikasi antara pemeluk Syiah dan Ahmadiyah dan kelompok intoleran juga belum optimal. Masih kurangnya komunikasi antara aparat pemerintah dengan pemeluk Syiah dan Ahmadiyah.

Ditengarai adanya aparatur pemeritah yang ikut memfasilitasi penyebaran kebencian kelompok intoleran terhadap pemeluk Syiah dan Ahmadiyah.  Tidak adanya keseragaman sikap aparat dalam penggunaan wewenang dan fungsi mereka terhadap konflik keagamaan.  
     
 Ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah dan kelompok minoritas keagamaan lainnya.

Kurangnya koordinasi antar-lembaga dan instansi terkait kewenangan dan kebijakan dalam menyelesaikan atas persoalan mengenai Syiah dan Ahmadiyah.

Kurangnya pemahaman tentang hak-hak kewarganegaraan dari semua pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian persoalan yang dialami oleh pemeluk Syiah dan Ahmadiyah.

Persepsi tentang gangguan dan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masih mendominasi berbagai kebijakan atas persoalan yang dialami oleh pemeluk Syiah dan Ahmadiyah.

Tidak adanya sanksi tegas yang memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan terhadap pemeluk Syiah dan Ahmadiyah serta kelompok minoritas keagamaan lainnya.

Juga dirasakan politisasi isu pemeluk Syiah dan Ahmadiyah untuk kepentingan tertentu. Kurang tersosialisasinya peraturan perundangan dan kebijakan terkait perlindungan kebebasan beragama bagi warga Negara. Ada kecenderungan Fatwa Majelis Ulama diambil sebagai satu-satunya rujukan dalam menyatakan kesesatan Syiah dan Ahmadiyah.

Lemahnya pemahaman hak-hak warga Negara dari sebagian aparat Negara yang menyebabkan ketidaknetralan dalam menyelesaikan persoalan terkait hak-hak konstitusi kelompok minoritas keagamaan
      
Sementara yang terkait dengan layanan negara, disinggung masalah pelayanan KTP, Akta perkawinan, kelahiran, pengurusan jenazah, pendidikan agama, pemberian remisi, grasi, dan jeminan keamanan pendirian rumah ibadah.

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014