Pontianak (Antara Kalbar) - Komisioner Inkuiri Komnas HAM Sandrayati Moniaga merekomendasikan dibentuknya panitia tapal batas dalam menyelesaikan polemik antara masyarakat Ketemenggungan Nanga Siyai, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat dengan Balai Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TN-BBBR).

"Panitia tapal batas itu bisa terdiri dari, Pemerintah Kabupaten Melawi, Balai TN-BBBR, masyarakat adat Ketemenggungan Nanga Siyai dan lainnya, sehingga nantinya bisa ada koreksi dalam penetapan tapal batas sebelumnya," kata Sandrayati Moniaga, membacakan rekomendasi awal saat memimpin dengar pendapat umum yang digelar oleh Inkuiri (penyelidikan menyeluruh) Komnas HAM, di Pontianak, Kamis.

Sandrayati menjelaskan negara sudah mengakui hutan adat, tetapi bukan berarti dilepaskan sebagai kawasan hutan tetapi dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat.

"Apalagi kami melihat masyarakat adat Ketemenggungan Nanga Siyai keberadaannya sudah lama di situ (kawasan TN-BBBR sekarang), dan memang juga sudah diakui oleh TN-BBBR," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Sandrayati menyatakan persoalan atau polemik seperti yang dialami masyarakat adat ketemenggungan Nanga Siyai juga terjadi di banyak wilayah, sehingga bisa menjadi rujukan apabila pihak terkait berkeinginan untuk menyelesaikan masalah serupa dengan merujuk pada semangat UUD 45 dan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan itu.

"Saya berharap masyarakat adat Ketemenggungan Nanga Siyai agar bersabar dengan tidak melakukan pendekatan kekerasan, tetapi lebih penyelesaian secara damai sebagai titik awal menyelesaikan permasalahan secara mendasar, bukan hanya tingkat permukaan saja," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, menurut dia ada pelanggaran HAM atas perempuan dengan adanya penangkapan suaminya, sehingga mereka menjadi takut dan trauma, akibatnya perempuan itu menjadi kepala keluarga, dan beralih profesi dari sebelumnya sebagai penganyam menjadi pembantu rumah tangga.

Sementara itu, Guru Besar Kebijakan Hutan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodiharjo menyatakan beberapa pihak hendaknya mengoreksi kesalahan masa lalu, seperti tidak lagi melakukan intimidasi kepada masyarakat, dan langkah pertama menghentikan kriminalisasi karena itu berkaitan dengan hubungan manusia.

"Permasalahan yang sering muncul, yakni urusan administrasi, padahal tujuannya untuk kepentingan masyarakat banyak sehingga harus diselesaikan secepatnya," kata Hariadi.

Bahen salah seorang warga Masyarakat Adat Ketemenggungan Nanga Siyai meminta pemerintah mengembalikan tanah adat mereka yang kini ditetapkan menjadi kawasan TN-BBBR.

"Sejak tanah adat dikuasai menjadi kawasan TN-BBBR, kami menjadi tidak bisa berladang dan bercocok tanam yang sejak zaman leluhur sudah menggarap tanah tersebut," katanya.

Ia meminta pihak Balai TN-BBBR mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini dirampas, karena di situ ada lima kampung (desa) yang dinyatakan masuk kawasan TN-BBBR.

Konflik antara masyarakat adat Temenggung Nanga Siyai dengan Balai TN-BBBR karena tumpang tindih klaim wilayah, setelah terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 281/Kpts-II/1992 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Cagar Alam Bukit Baka yang kini terletak di Kabupaten Melawi, Kalbar, dan Cagar Alam Bukit Raya di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah seluas 181.090 hektare yang ditetapkan menjadi TN-BBBR.

Tahun 1998 pihak Balai TN-BBBR melakukan pertemuan dengan masyarakat setempat untuk membuat dan memperjelas tata batas Taman Nasional dengan hutan adat masyarakat dalam bentuk pemetaan partisifatif sebagai pijakan dengan masyarakat adat.

Batas TN-BBBR berada di hulu Randu Landau Bunot atau hulu Sungai Situs Batu Betanam (tempat ziarah dan monumen perdamaian nenek moyang ketemenggungan Nanga Siyai). Atas dasar itu pihak Balai TN-BBBR memindahkan batas tanpa sepengetahuan masyarakat hingga di kilometer 28 sehingga masuk di wilayah persawahan masyarakat adat Ketemenggungan Nanga Siyai.

Atas kejadian itu, masyarakat melakukan perlawanan karena lahan pertanian mereka berkurang, tetapi pihak Balai TN-BBBR melakukan kriminalisasi dengan tuduhan merambah hutan.

Sementara itu, Kepala Balai TN-BBBR Bambang Sukrindo menyatakan masyarakat boleh-boleh saja berladang, tetapi harus dipindahkan ke lokasi di luar TN.

Dia mengakui, kalau sebelum-sebelumnya komunikasi antara masyarakat adat dan pihak Balai TN-BBBR tersekat, tetapi sekarang sudah terjalin komunikasi yang baik.

"Tentunya kami akan melakukan atau melaporkan, terkait permintaan tata ruang zona tradisional oleh masyarakat adat setempat, kalau memang memungkinkan bisa saja diberikan," katanya.

Pewarta: Andilala

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014