Pontianak (Antara Kalbar) - Penasihat hukum 11 warga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) minta Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi agar mengawasi proses sidang kliennya di Pengadilan Negeri Pontianak.

"Kami sudah mengirim surat ke KY dan KPK agar melakukan pengawasan, karena dengan opini yang berkembang seakan-akan ada permainan dengan tuntutan JPU," kata Penasihat Hukum 11 warga RRT, Herman Santoso di Pontianak, Kamis.

Padahal tuntutan JPU selama 10 bulan itu terlalu tinggi karena tidak terbukti dalam tuntutannya.

"Dengan pengawasan oleh KY ataupun KPK, agar ketika klien kami divonis bebas jangan sampai dikira ada permainan," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Herman Santoso menyatakan keberatan dengan tuntutan JPU selama 10 bulan terhadap kliennya, karena JPU tidak mampu membuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh kliennya itu.

"Apalagi dalam tuntutan JPU juga mengakui bahwa warga RRT tersebut hanya tenaga kerja yang datang ke Indonesia dengan legal. Dalam keterangan saksi dan bukti-bukti mereka (warga RRT) baru eksplorasi dan belum penambangan sehingga unsur penambangan tanpa IUP (izin usaha pertambangan) tidak terbukti, sehingga kami minta klien kami dibebaskan," ujarnya.

Dia menilai terkait opini-opini yang mendesak agar 11 warga RRT dihukum berat, menurut dia tidak pas, karena yang mengetahui secara pasti berdasarkan fakta-fakta hanya di persidangan. Pihaknya juga percaya kalau hakim yang menangani kasus ini juga profesional dan punya integritas.

Sebelumnya, puluhan masyarakat Adat Dayak berdemo di Kantor Kejati Kalbar, memprotes tuntutan ringan Jaksa terhadap 11 warga RRT dalam kasus penambangan ilegal dan pembalakan hutan secara liar di Kabupaten Kapuas Hulu.

Ketua Bala Adat, Didi meminta pelaku baik itu warga RRT dan perusahaan yang mendatangkan warga asing itu, serta perusahaan pertambangan tersebut diadili seadil-adilnya.

Dalam pernyataan sikapnya masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Bersama Peduli Lingkungan dan Kawasan Hutan itu menuntut, izin perusahaan yang menyewa mereka PT Cosmos Inti Persada dicabut, meminta ganti rugi dampak kerusakan hutan lindung yang telah dirambah.

Kemudian hukum berat pelaku atau perambah hutan lindung, penyandang dana sesuai dengan ancaman UU No. 4/2009 tentang Pertambangan, UU No. 18/ 2013 tentang Kehutanan, serta UU No.32 2009 tentang Lingkungan Hidup.

"Kami juga meminta oknum-oknum yang terlibat dalam kasus ini diproses hukum. Kejati Kalbar agar mengusut PT Navara Westindo atau perusahaan penanggung jawab tenaga kerja asing tersebut," ungkap Didi.

JPU Abdul Samad menyatakan 11 warga RRT tersebut hanya sebagai karyawan saja.

"Karena mereka menerima gaji, serta pertanggungjawaban penuhnya ada pada perusahaan sehingga penuntutan terhadap terdakwa hanya melanggar UU Pertambangan, Kehutanan, UU Lingkungan Hidup," ujarnya.

(A057/A029)

Pewarta: Andilala

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014