Pontianak (Antara Kalbar) - Praktisi hukum menyesalkan tuntutan ringan dari jaksa penuntut umum (JPU) terhadap 11 warga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kasus penambangan ilegal dan pembalakan hutan secara liar di Kabupaten Kapuas Hulu.
"Aneh sekali dengan kasus besar yang dilakukan oleh 11 warga RRT, tetapi JPU hanya menuntutnya 10 bulan kurungan dan denda Rp1 miliar, sementara seorang pencuri ayam saja dituntut berat, sehingga disini terkesan tidak adil," kata seorang praktisi hukum Dewi Y di Pontianak, seusai menyaksikan langsung proses sidang 11 warga RRT di Pengadilan Negeri Pontianak, Kamis.
Dewi yang berprofesi sebagai pengacara di Jakarta saat menyaksikan sidang itu menyesalkan kenapa warga asing yang jelas-jelas merusak hutan di Kalbar atau Indonesia umumnya itu hanya dijerat dengan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan, UU No. 18/ 2013 tentang Kehutanan, serta UU No.32 2009 tentang Lingkungan Hidup.
"Harusnya diancam tuntutan berlapis dan berat, karena bukan dua UU saja yang dilanggar, tapi bisa dilihat lebih dalam ke UU Lingkungan dan UU Keimigrasian. Mereka dituntut 10 bulan itu ringan. Tapi giliran TKI yang bekerja di luar negeri salah sedikit saja sudah dihukum berat, sehingga mau dikemanakan muka kita di mata dunia," ungkapnya.
Sebagai orang yang bergerak di bidang hukum, Dewi melihat banyak kejanggalan dalam kasus itu, sehingga Komisi Yudisial perlu meninjau para JPU dan majelis hakim yang menangani kasus tersebut.
"Seharusnya JPU lebih pintar dalam hal ini, sehingga tidak sampai menuntut ringan terhadap WNA yang melanggar aturan di Indonesia," ujarnya.
Ia berharap Komisi Yudisial mencermati persidangan warga RRT di PN Pontianak ini, sehingga bisa menegur aparat hukum bila melenceng dari hukum yang adil.
Sebelumnya, 11 terdakwa WNA RRT dijerat dengan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan, UU No. 18/ 2013 tentang Kehutanan, serta UU No.32 2009 tentang Lingkungan Hidup, dengan ancaman hukuman kurungan di atas lima tahun penjara karena diduga telah melakukan pembabatan hutan lindung di Kecamatan Boyan, Kabupaten Kapuas Hulu.
Para terdakwa juga mengantongi paspor asli, perusahaan yang menyewa mereka PT Cosmos Inti Persada di Kabupaten Kapuas Hulu, juga mempunyai izin untuk mempekerjakan tenaga asing, selain itu mereka juga mengantongi kartu izin tinggal terbatas dari Imigrasi.
Sementara untuk perizinan, perusahaan tersebut sudah mendapat izin usaha pertambangan untuk operasi produksi, serta izin eksplorasi yang diterbitkan pemerintah daerah.
Sidang kasus itu, dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Torowa Daeli, dengan hakim anggota Sugeng Warmanto, dan Syofia Marlianti Tambunan. Ke-11 warga RRT didampingi oleh Jimmy Dohar Pandapotan Sihombing, Herman Santoso dan Widi Syailendra, serta menggunakan penerjemah Daruma Daishi, yang juga merupakan tim penasihat hukum para terdakwa.
JPU Abdul Samad menyatakan 11 warga RRT tersebut hanya sebagai karyawan saja. "Karena mereka menerima gaji, serta pertanggungjawaban penuhnya ada pada perusahaan sehingga penuntutan terhadap terdakwa hanya melanggar UU Pertambangan, Kehutanan, UU Lingkungan Hidup," ujarnya.
(A057/N005)
Praktisi Sesalkan Tuntutan Ringan Kasus Warga RRT
Kamis, 25 September 2014 21:04 WIB