Pontianak (Antara Kalbar) - Tim penasihat hukum warga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang menjadi terdakwa kasus penambangan ilegal dan pembalakan hutan di Kabupaten Kapuas Hulu, menyatakan optimistis bisa memenangkan kasus tersebut, karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum lemah.
"Dakwaan lemah, karena kasus ini sebenarnya merupakan kasus ketenagakerjaan," kata Penasihat Hukum 11 orang warga RRT, Widi Syailendra di Pontianak, Kamis.
Ia menjelaskan pihaknya akan membuktikan di persidangan bahwa keberadaan kliennya di Kalimantan Barat semata-mata tenaga kerja dari PT Tana Raja, yang merupakan tenaga ahli, yang sedang melakukan eksplorasi di kawasan hutan di Kabupaten Kapuas Hulu.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Kalbar, Samad mendakwa 11 tenaga kerja asing tersebut dengan pasal 158 UU No. 4 2009 tentang Pertambangan, mineral dan batu bara, serta tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Ke-11 warga RRT didampingi oleh Jimmy Dohar Pandapotan Sihombing, Herman Santoso dan Widi Syailendra, serta menggunakan penerjemah Daruma Daishi, yang juga merupakan tim penasihat hukum para terdakwa.
Daruma menambahkan, kegiatan eksplorasi merupakan bagian awal dari tahapan kegiatan pertambangan secara keseluruhan. Mereka hanya mengambil sampel tanah, dan meneliti kandungan tanah tersebut. "Jadi belum ada kegiatan impor bahan tambang, atau bisa disebut antimony murni," ujarnya.
Para terdakwa juga mengantongi paspor asli, perusahaan yang menyewa mereka PT Cosmos Inti Persada di Kabupaten Kapuas Hulu, juga mempunyai izin untuk mempekerjakan tenaga asing, selain itu mereka juga mengantongi kartu izin tinggal terbatas dari Imigrasi.
Sementara untuk perizinan, perusahaan tersebut sudah mendapat izin usaha pertambangan untuk operasi produksi, serta izin eksplorasi yang diterbitkan pemerintah daerah.
Dia mengatakan mereka juga akan mematahkan argumen dari JPU terkait kasus kawasan hutan lindung yang didakwakan dibabat oleh warga RRT tersebut dengan mengacu pada putusan MK No 45/PPU-IX/ 2011. "Saksi ahli yang akan kami hadirkan, adalah saksi yang dihadirkan dalam sidang MK, dengan putusan No. 45/2011 tersebut," ujarnya.
Dalam putusan MK menilai penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahapan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan.
Permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan ini diajukan beberapa bupati dan seorang pengusaha di Kalimantan Tengah, yakni oleh Bupati Kapuas M Mawardi Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, dan Akhmad Taufik (pengusaha). Mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, mereka meminta MK mencabut frase "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3.
Karena pada dasarkan pasal tersebut kontradiksi dengan UU lain yang menaungi tata ruang. Dia menyebutkan, paling tidak ada tiga UU yang saling kontradiksi. Ketiga UU tersebut adalah No. 41/1999, UU No. 32 tentang Otonomi Daerah, dan UU No. 24/1992 tentang Tata Ruang.
Sebelumnya, Polda Kalbar menetapkan 12 warga RRT sebagai tersangka, satu diantaranya meninggal dunia karena sakit, jasad warga RRT tersebut telah diterbangkan ke Negara asalnya.
Sidang kasus itu, dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Torowa Daeli, dengan hakim anggota Sugeng Warmanto, dan Syofia Marlianti Tambunan.
(A057/N005)
Penasihat Hukum Warga RRT Yakin Kliennya Bebas
Kamis, 17 Juli 2014 22:58 WIB