Kepulauan Meranti (Antara Kalbar) - Peneliti Ekologi dan Lingkungan Gambut Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan masyarakat di daerah gambut dapat memanfaatkan lahan untuk tanaman komoditas berair seperti sagu untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan.

"Jika lahan gambut ingin diintensifkan untuk komoditas maka pilih tanaman yang bisa hidup di tempat berair seperti sagu. Hal itu dapat memberi manfaat ekonomis dan juga mencegah kebakaran hutan," kata Haris di Pulau Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, Kamis.

Menurut Haris, tanaman sagu membutuhkan gambut basah agar menghasilkan produk yang berkualitas baik.

Dengan kondisi tingkat air yang tinggi, maka hal itu juga dapat menahan kebakaran di lahan gambut.

Haris mengatakan sebagian besar lahan gambut yang terbakar di Provinsi Riau diakibatkan oleh keringnya lahan di kawasan tersebut akibat pembuatan kanal oleh beberapa perusahaan.

"Pembuatan kanal dimaksudkan untuk mengeringkan air di lahan gambut sehingga mudah terbakar atau dibakar. Asap yang dihasilkan dari gambut lebih pekat karena biomassa yang terbakar terkena air," ujar Haris.

Sementara itu, pemilik kebun sagu di Pulau Tebing Tinggi, Abdul Manan, mengatakan tren yang terjadi di masyarakat yang hidup di lahan gambut adalah membakar lahannya untuk ditanami oleh tanaman selain sagu.

"Orang tua kami sejak kemerdekaan RI sudah menanam sagu dan tidak pernah terjadi kebakaran. Hanya pada saat tren penanaman kelapa sawit dan pohon akasia banyak terjadi kebakaran di lahan gambut," kata Manan.

Menurut dia, pemilik lahan banyak yang mengeringkan lahan gambut dengan membuat kanal sehingga mudah dibakar untuk ditanam pangkal kelapa sawit ataupun pohon akasia.

    
Penolakan kehadiran perusahaan
   
Manan menambahkan Kecamatan Tebing Tinggi Timur telah menolak pembukaan lahan gambut untuk penanaman pohon akasia oleh PT Lestari Unggul Makmur.

"Ada 12 kepala desa yang menolak kehadiran PT LUM. Kami minta izin mereka dicabut sehingga tidak mengeringkan lahan gambut dan produksi sagu semakin baik dan tinggi," ujar Manan.

Menurut Manan yang juga menjadi pegiat konservasi lahan gambut, terdapat 12 tempat pengolahan sagu basah di Pulau Tebing Tinggi Timur yang dapat memproduksi sagu sebanyak 500-600 ton per-bulan.

Pengusaha sagu menjual produk sagu basah ke Malaysia yang dihargai Rp2.100 per kilogram.

Manan mengaku produksi sagu di daerahnya menurun akibat pembuatan kanal untuk pengeringan yang dibangun oleh perusahaan.

"Sebelumnya kami bisa menghasilkan sagu 800 kilogram per bulan saat lahan gambut masih basah dengan baik," kata Manan.

Sementara itu Pemprov Riau bersama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyusun rencana aksi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pada Jumat (21/11).

Terdapat 14 poin utama yang diatur dalam rencana aksi Karhutla Riau yang diantaranya adalah membentuk format perbaikan kebijakan perlindungan di kawasan rawan kebakaran. Pelaksanaan poin tersebut salah satunya adalah dengan penetapan gambut dalam sebagai kawasan lindung di dalam Revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau, kemudian membuat tim inventarisasi kawasan gambut dalam.  

(B019/B.S. Hadi)

Pewarta: Bayu Prasetyo

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014