Pontianak (Antara Kalbar) - Aktivis Yayasan Konservasi Alam Kalimantan Lorens mempertanyakan legalistas ekspor hasil hutan bukan kayu seperti gaharu buaya, agatis, kayu kelapa, kayu pinang, kayu durian, dan kayu karet dalam bentuk bulat yang marak beredar di Pelabuhan Pontianak.
"Bahkan, hasil hutan itu diduga diekspor oleh perusahaan eksportir yang tidak mengantongi sertifikat atau pengakuan sebagai Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK)," kata Lorens di Pontianak, Rabu.
Ia menyayangkan jika produk tersebut diekspor tanpa proses yang jelas dan melanggar sejumlah regulasi di antaranya Permenhut No. P 35, Permenhut No. P 55, dan Undang-Undang No. 5/1984 tentang Industri.
Menurut dia ketentuan mengenai ekspor kayu sudah diatur dalam Permendag RI No. 20/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, begitu pula dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 01/M-DAG/PER/1/2007 tentang Perubahan atas Lampiran Keputusan Menteri Perdagangan No. 588/MPP/KEP/12/1998.
Lorens menambahkan setiap kayu atau non kayu yang akan diekspor harus diproses terlebih dahulu, bukan bulat-bulat diekspor. "Hasil hutan itu harus sudah dalam bentuk potongan atau pecahan, jika tidak, maka ada sesuatu yang lemah dalam pengawasan, apalagi jika produk itu sudah sampai masuk di pelabuhan.
Kendati jenis kayu yang di ekspor tersebut bagian dari hasil hutan bukan kayu (HHBK), tetapi harus memiliki izin industri, dan perusahaannya harus ada pengakuan sebagai ETPIK.
"HHBK jenis tertentu untuk diekspor memang tidak perlu laporan surveyor, tetapi perusahaan harus memiliki ETPIK sebelum barangnya bisa diekspor," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Lorens menambahkan dari rantai perdagangan, rantai produksi, hingga suplai harus memiliki standar verifikasi dan legalitas hasil hutan, karena semua sudah memiliki aturan yang jelas tentang itu.
"Kalau hasil hutan tersebut beredar di Kalbar, cukup menggunakan dokumen lanjutan, tetapi jika beredar di pelabuhan atau keluar dari Kalbar harus memiliki dokumen ETPIK, Izin usaha industri, dan faktur angkutan HHBK," ujar Lorens.
(A057/B015)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Bahkan, hasil hutan itu diduga diekspor oleh perusahaan eksportir yang tidak mengantongi sertifikat atau pengakuan sebagai Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK)," kata Lorens di Pontianak, Rabu.
Ia menyayangkan jika produk tersebut diekspor tanpa proses yang jelas dan melanggar sejumlah regulasi di antaranya Permenhut No. P 35, Permenhut No. P 55, dan Undang-Undang No. 5/1984 tentang Industri.
Menurut dia ketentuan mengenai ekspor kayu sudah diatur dalam Permendag RI No. 20/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, begitu pula dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 01/M-DAG/PER/1/2007 tentang Perubahan atas Lampiran Keputusan Menteri Perdagangan No. 588/MPP/KEP/12/1998.
Lorens menambahkan setiap kayu atau non kayu yang akan diekspor harus diproses terlebih dahulu, bukan bulat-bulat diekspor. "Hasil hutan itu harus sudah dalam bentuk potongan atau pecahan, jika tidak, maka ada sesuatu yang lemah dalam pengawasan, apalagi jika produk itu sudah sampai masuk di pelabuhan.
Kendati jenis kayu yang di ekspor tersebut bagian dari hasil hutan bukan kayu (HHBK), tetapi harus memiliki izin industri, dan perusahaannya harus ada pengakuan sebagai ETPIK.
"HHBK jenis tertentu untuk diekspor memang tidak perlu laporan surveyor, tetapi perusahaan harus memiliki ETPIK sebelum barangnya bisa diekspor," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Lorens menambahkan dari rantai perdagangan, rantai produksi, hingga suplai harus memiliki standar verifikasi dan legalitas hasil hutan, karena semua sudah memiliki aturan yang jelas tentang itu.
"Kalau hasil hutan tersebut beredar di Kalbar, cukup menggunakan dokumen lanjutan, tetapi jika beredar di pelabuhan atau keluar dari Kalbar harus memiliki dokumen ETPIK, Izin usaha industri, dan faktur angkutan HHBK," ujar Lorens.
(A057/B015)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014