Pontianak (ANTARA) - Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran komitmen dalam menjaga lingkungan terhadap empat perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kalimantan Barat.
"Berdasarkan hasil pemantauan terhadap komitmen perusahaan HTI di Kalbar sejak 2018 hingga 2024. Pemantauan yang dilakukan Jikalahari bersama organisasi masyarakat sipil ini mencakup delapan provinsi di Indonesia, termasuk Kalbar, dengan fokus pada penerapan kebijakan seperti NDEP (No Deforestation, No Peat, and No Exploitation), restorasi gambut, dan kepatuhan terhadap perlindungan lingkungan," kata Okto di Pontianak, Minggu.
Da mengatakan, setidaknya ada empat dari 11 perusahaan HTI di Kalimantan Barat yang terindikasi melanggar komitmen lingkungan, yakni PT Finantara Intiga, PT Mayawana Persada, PT Asia Tani Persada, dan PT Wana Hijau Pesaguan.
Perusahaan-perusahaan ini diduga melakukan pelanggaran serius, termasuk pembukaan lahan gambut, deforestasi di kawasan lindung, konflik lahan dengan masyarakat, serta alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Di tempat yang sama, Direktur Pontianak Institute (Point) Kalbar, Martin Gilang mengatakan bahwa regulasi pemerintah yang sering berubah dan konflik kepentingan lahan dengan masyarakat kerap menghambat tata kelola HTI yang berkelanjutan.
"Peraturan yang berubah-ubah serta tumpang tindih lahan menjadi masalah besar bagi perusahaan untuk sepenuhnya berkomitmen pada tata kelola hutan yang baik," tuturnya.
Dalam paparan diseminasi, Okto dan Martin menguraikan sejumlah pelanggaran yang ditemukan pada empat perusahaan HTI di Kalbar seperti PT Finantara Intiga yang memiliki konsesi seluas 286.770 hektare yang tersebar di Sanggau, Sekadau, dan Sintang, hanya 12,6 persen area yang dikelola oleh masyarakat, menghambat akses pemanfaatan hutan secara legal.
Kondisi ini menyebabkan ketimpangan akses lahan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal. Selain itu, sekitar 26,3 persen dari konsesi ini berada di Area Penggunaan Lain (APL), yang membutuhkan evaluasi izin karena berada di luar kawasan hutan.
Kemudian, PT Mayawana Persada yang berdasarkan citra satelit, perusahaan ini membuka lahan seluas 49.953 hektare, di mana 22.150 hektare di antaranya berada di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). "Ini adalah indikasi pelanggaran serius, karena alih-alih merestorasi, perusahaan justru membuka hutan gambut yang semestinya diprioritaskan untuk perlindungan," katanya.
Selanjutnya, PT Asia Tani Persada, meskipun PP Nomor 57 Tahun 2016 melarang aktivitas di area gambut, perusahaan ini tetap membuka lahan baru seluas 431 hektare di KHG Sungai Labai-Sungai Kualan tanpa upaya perbaikan yang berarti.
Yang ke empat, PT Wana Hijau Pesaguan dimana berdasarkan hasil pemantauan menunjukkan bahwa perusahaan ini masih memproduksi kayu dari hutan alam, yang terlihat dari tumpukan kayu bulat berdiameter 30-40 cm di lokasi konsesi.
"Penebangan ini berlawanan dengan komitmen nol deforestasi dan mengindikasikan bahwa masih ada eksploitasi hutan alam," kata Martin.
Terkait temuan pelanggaran ini, menurut Martin, perlu mendapat perhatian serius agar izin konsesi perusahaan HTI yang terbukti melanggar dievaluasi. Kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan dinilai sangat penting untuk memperbaiki tata kelola hutan dan mengurangi konflik lahan.
"Perusahaan dan pemerintah harus bekerja lebih baik agar kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat lokal dapat terwujud," katanya.
Dengan adanya diseminasi ini, Jikalahari berharap komitmen yang lebih kuat dari perusahaan HTI untuk menjalankan praktik berkelanjutan dan menaati ketentuan pemerintah terkait perlindungan lingkungan serta upaya restorasi di kawasan hutan Kalimantan Barat.*