Sintang (Antara Kalbar) - Pagi itu, tampak delapan lelaki tua sedang duduk sambil menghisap rokok di steher Dermaga Sungai Durian. Mereka adalah para motoris Perahu Tambang. Ditaksir rata-rata usia para motoris itu sudah di atas lima puluh tahun. Bahkan beberapa diantaranya yang telah bermahkota putih ditaksir berumur lebih dari 60 tahun.

Jam di tangan menunjukkan pukul 06.00 pagi. Melihat kehadiran saya, seorang motoris langsung menghampiri. Dia yang belakangan saya ketahui bernama Anton Samiun itu menanyakan apakah saya akan menyeberang ke Museum Dara Djuanti di Kelurahan Kapuas Kiri Hilir.

“Mau nyeberang kah dek,” tanyanya.

“Boleh pak, tapi saya tidak sampai seberang. Cuma sampai ke tengah sungai saja karena saya ingin memfoto,” jawab saya.

Saya pun kemudian menaiki Perahu Tambang milik bapak dua anak ini. Dengan cekatan, Motoris inipun langsung menghidupkan mesin Perahu Tambangnya. Dengan Perahu Tambangnya itu, Motoris yang sudah berusia 63 tahun ini membawa saya menyeberang Sungai Kapuas. Perahu Motor inipun mulai melaju membelah gelombang kecil sungai yang mulai pasang itu.

Dari dalam Perahu Motor ini, terlihat Bukit Kelam nan indah itu sebagian tubuhnya diselimuti awan hitam. Langit Kota Sintang pagi itu memang sedang mendung. Sejak awal Desember lalu, Kota Sintang memang sering diguyur hujan yang cukup lebat. Menurut BMKG, intensitas curah hutan di Kabupaten Sintang pada Desember hingga Januari nanti cukup tinggi.

Sehingga Sungai Kapuas yang memiliki lebar tak kurang dari 250 meter itu mulai menunjukkan volumenya yang maksimal. Bahkan air sungai sudah mendekati bibir Jalan Katamso. Diperkirakan volume air sungai ini akan terus bertambah seiring dengan semakin tingginya curah hujan.

Dari tengah sungai, sebagian wajah Kota Sintang memang terlihat, terutama deretan Ruko di Jalan Katamso dan perumahan di daerah Museum Dara Djuanti dan Kawasan Pasar Tanjung Puri. Pagi itu, selain saya, terlihat beberapa masyarakat juga menaiki Motor Tambang yang lain untuk menyeberang dari Sungai Durian ke Museum Dara Djuanti itu.

“Biasa berapa ongkosnya pak kalau nyeberang,” tanya saya membuka percakapan dengannya.

“Kalau sendiri biasanya Rp15 ribu. Tapi kalau ramai ongkos normalnya Rp5 ribu per orang,” jawabnya.

Anton yang merupakan masyarakat Kelurahan Kapuas Kiri Hilir ini telah menjadi Motoris Perahu Tambang sejak tahun 1971 lalu. Alhasil setelah menggeluti profesinya menjadi Motoris Perahu Tambang selama 44 tahun ini banyak suka duka yang dia alami.

Dulu Perahu Tambang ini pernah mengalami masa kejayaannya. Sebab saat itu, Perahu Tambang menjadi satu-satunya angkutan bagi masyarakat Kelurahan Kapuas Kiri Hilir untuk menyeberang ke Kelurahan Kapuas Kanan Hulu. Apalagi saat itu, Jembatan Melawi belum dibangun. Sehingga Perahu Tambang menjadi satu-satunya sarana angkutan bagi masyarakat. Di zaman itu, Anton dalam sehari bisa mengumpulkan Rupiah dalam jumlah yang lebih dari cukup untuk hidupnya. “Tahun 1971 dulu, ongkos tambang ini hanya Rp50 saja,” ceritanya.

Lain dulu, lain kini. Saat ini seiring perkembangan zaman, cerita kejayaan Perahu Tambang telah hilang. Semakin pesatnya pembangunan di Kota Sintang, angkutan tambang inipun semakin tergilas zaman. Meski demikian, masih ada saja masyarakat yang tetap bertahan menggantungkan hidupnya dengan menjadi Motoris Perahu Tambang ini. Salah satunya Anton Samiun ini.

Dia sama sekali tidak pernah beralih profesi. Perahu Tambang seakan sudah menjadi istrinya yang akan selalu bersama sehidup semati. Meski saat itu, kondisinya sudah jauh berbeda dibanding zaman dulu. Kini dengan bertahan menjadi Motoris Perahu Tambang, Anton tidak mampu mengumpulkan Rupiah dalam jumlah banyak. Apalagi dengan naiknya harga BBM bersubsidi.

Dalam sehari, Anton menceritakan hanya bisa menarik Perahu Tambangnya paling banyak tiga kali pulang pergi. Satu kali pulang pergi, penumpang yang diangkut Anton hanya berkisar 2-3 orang saja. Rata-rata dalam sehari Anton hanya bisa mendapatkan uang Rp50 ribu saja. Sementara untuk pulang pergi sebanyak tiga kali, Perahu Tambang milik Anton ini menghabiskan premium sebanyak 2 liter. Alhasil, setiap harinya Anton hanya bisa membawa pulang uang untuk istrinya sekitar Rp30 ribu. Inipun jika Anton tidak membeli makan siang untuk dirinya.

“Sudah sulit sekarang dek. Mau naikkan ongkos tambang tidak mungkin. Takut nanti tidak ada masyarakat yang mau naik tambang lagi,” keluhnya.

Dia menilai jika ongkos tambang dinaikkan dari Rp5 ribu menjadi Rp7.500 saja, pasti tidak ada lagi masyarakat yang mau naik tambang. “Ya akhirnya kami para penarik Perahu Tambang hanya bisa bertahan dengan tarif Rp5 ribu perorangnya,” kata dia.

Pewarta: Faiz

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015