Jakarta (Antara Kalbar) PT PLN (Persero) memerlukan dana Rp608,6 triliun atau Rp122 triliun per tahun untuk membiayai proyek-proyek kelistrikan selama lima tahun (2015-2019).
Direktur PLN Nasri Sebayang di Jakarta, Rabu mengatakan, kebutuhan belanja modal tersebut dialokasikan untuk pembangkit berkapasitas 10.000 MW yang merupakan bagian program 35.000 MW.
"Lalu, membiayai proyek transmisi dan distribusi untuk mendukung program 35.000 MW," ucapnya.
Sementara, kebutuhan dana swasta (IPP) membiayai proyek pembangkit 25.000 MW dalam program 35.000 MW adalah Rp579,7 triliun.
Berdasarkan data yang diperoleh, rincian belanja modal PLN sebesar Rp608,6 triliun tersebut adalah 2015 Rp102,2 triliun, 2016 Rp146,6 triliun, 2017 Rp155,9 triliun, 2018 Rp120,1 triliun, dan 2019 Rp83,8 triliun.
Sumber pendanaan direncanakan dari kas internal berupa marjin dan depresiasi, kemudian pinjaman komersial, dan APBN dengan total Rp45 triliun per tahun.
Lalu, ditambah penyertaan modal negara (PNM) Rp155 triliun selama empat tahun (2016-2019) atau Rp38 triliun per tahun.
Sisanya, sekitar Rp40 triliun per tahun, sesuai data tersebut, akan ditutup dari lima lembaga donor internasional yakni Bank Dunia, ADB, JICA, KfW, dan AFD melalui skema pinjaman langsung ke PLN dengan jaminan pemerintah.
Bank Dunia, ADB, JICA, dan KfW berkomitmen memberikan pinjaman lima miliar dolar AS untuk selama lima tahun atau satu miliar dolar per tahun. Sementara, AFD berkomitmen 300 juta dolar.
Pinjaman tersebut dijadwalkan dimulai dari Bank Dunia pada semester pertama 2015 senilai Rp12 triliun per tahun selama lima tahun.
Komitmen pinjaman terutama untuk proyek transmisi dan pembangkit dengan sumber energi terbarukan.
Data tersebut juga menunjukkan, kondisi keuangan PLN diperkuat dengan PLN tidak diharuskan membayar deviden, subsidi langsung kepada konsumen listrik, dan penyesuaian tarif.
Target yang dicapai pada Desember 2015 adalah "return on asset" (RoA) delapan persen dan "debt to equity ratio" (DER) kurang dari 200 persen, sehingga margin ke pelanggan yang diperlukan mencapai 40 persen pada 2019.
Prognosa pada 2014 adalah RoA 2,2 persen dan DER lebih dari 225 persen.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
Direktur PLN Nasri Sebayang di Jakarta, Rabu mengatakan, kebutuhan belanja modal tersebut dialokasikan untuk pembangkit berkapasitas 10.000 MW yang merupakan bagian program 35.000 MW.
"Lalu, membiayai proyek transmisi dan distribusi untuk mendukung program 35.000 MW," ucapnya.
Sementara, kebutuhan dana swasta (IPP) membiayai proyek pembangkit 25.000 MW dalam program 35.000 MW adalah Rp579,7 triliun.
Berdasarkan data yang diperoleh, rincian belanja modal PLN sebesar Rp608,6 triliun tersebut adalah 2015 Rp102,2 triliun, 2016 Rp146,6 triliun, 2017 Rp155,9 triliun, 2018 Rp120,1 triliun, dan 2019 Rp83,8 triliun.
Sumber pendanaan direncanakan dari kas internal berupa marjin dan depresiasi, kemudian pinjaman komersial, dan APBN dengan total Rp45 triliun per tahun.
Lalu, ditambah penyertaan modal negara (PNM) Rp155 triliun selama empat tahun (2016-2019) atau Rp38 triliun per tahun.
Sisanya, sekitar Rp40 triliun per tahun, sesuai data tersebut, akan ditutup dari lima lembaga donor internasional yakni Bank Dunia, ADB, JICA, KfW, dan AFD melalui skema pinjaman langsung ke PLN dengan jaminan pemerintah.
Bank Dunia, ADB, JICA, dan KfW berkomitmen memberikan pinjaman lima miliar dolar AS untuk selama lima tahun atau satu miliar dolar per tahun. Sementara, AFD berkomitmen 300 juta dolar.
Pinjaman tersebut dijadwalkan dimulai dari Bank Dunia pada semester pertama 2015 senilai Rp12 triliun per tahun selama lima tahun.
Komitmen pinjaman terutama untuk proyek transmisi dan pembangkit dengan sumber energi terbarukan.
Data tersebut juga menunjukkan, kondisi keuangan PLN diperkuat dengan PLN tidak diharuskan membayar deviden, subsidi langsung kepada konsumen listrik, dan penyesuaian tarif.
Target yang dicapai pada Desember 2015 adalah "return on asset" (RoA) delapan persen dan "debt to equity ratio" (DER) kurang dari 200 persen, sehingga margin ke pelanggan yang diperlukan mencapai 40 persen pada 2019.
Prognosa pada 2014 adalah RoA 2,2 persen dan DER lebih dari 225 persen.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015