Pontianak (Antara Kalbar) - Universitas Tanjungpura Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, menemukan alat pengukur biomassa karbon meter (UBKM) pohon, yakni alat pengukur untuk menentukan biomassa karbon yang terkandung dalam pohon.

"Ditemukan Untan Biomassa Karbon Meter (UBKM) setelah kami melakukan penelitian selama tiga tahun terakhir. Diawal penemuannya alat bersifat manual dan sekarang sudah berbentuk digital," kata Dekan Fakultas Kehutanan Gusti Hardiansyah saat konferensi pers bersama Rektor Untan Thamrin Usaman di Pontianak, Minggu.

Alat UBKM pohon menjadi elemen penting dalam implementasi program Reducing Emision Deforstation Degradation plus (REDD) dan akan sangat membantu untuk measurement reporting and verification (MRV) karbon pohon yang tumbuh di alam atau yang ditanam oleh komunitas adat, petani  kayu, maupun perusahaan, dan memiliki sejumlah keunggulan seperti, menghitung biomassa tanpa melukai atau menebang pohon, murah dan bisa digunakan mobilitas tinggi, praktis dan sederhana.
 
"UBKM sudah diperkenalkan di dunia Internasional seperti di negara Brazil, Perancis, Spanyol dan negara-negara lainnya, dan alat pengukur itu sengaja dirancang untuk menentukan biomassa karbon yang terkandung di dalam hutan," jelasnya
 
Hardiansyah mengatakan penemuan alat ini sebagai jawaban atas isu perubahan iklim yang heboh di tingkat dunia. Karena ada kekhawatiran jika kadar CO2 yang meningkat, dan yang bisa membersihkan itu hanya hutan, yang kebetulan Indonesia, khusus Kalimantan dikenal dengan kaya akan sumber daya alam hutan.

"Pohon itu bagai vavum cleaner, dan pihak luar mau memberikan insentif jika kita bisa jaga hutan. Sehingga dengan ditemukannya UBKM maka pengujian akan kandungan karbon pada suatu pohon akan diketahui, sehingga bisa dilakukan penghitungan.

"Lebih besar pohon maka karbon yang didapat juga lebih besar, sebab pihak luar siap membayar 10 - 20 dolar setiap satu ton karbon, asalkan pohon tidak ditebang sehingga tidak melepaskan karbonnya. Insentif itulah yang lebih baik diberikan ke masyarakat. Hitung saja satu pohon yang ada misalnya 0,6 ton karbon. Jika pihak luar siap membayar senilai 10 dolar saja untuk satu ton karbon, maka ada 6 dolar untuk satu pohon karbon, dan bayangkan jika itu satu hektare yang banyak pohonnya," kata Hardiansyah.

Ia menambahkan, masyarakat harus melek agar menjaga hutan-hutannya, karena ada dua keuntungan selain, bisa menjaga lingkungan, juga akan mendapat insentif dari negara-negara luar karena telah menjaga hutannya.

Sayangnya, lanjut dia, ada persoalan lain yang menghambat, yakni pelaku ilegal logging yang siap membayar lebih mahal untuk satu pohon.
"Katakan pelaku ilegal logging membayar Rp1 juta untuk satu pohon, tentunya kurang menarik bagi masyarakat untuk insentif itu, tetapi masyarakat harus melek mengenai perubahan iklim karena untuk kepentingan mereka juga," katanya.

Sementara itu, Rektor Universitas Tanjungpura Prof Dr Thamrin Usman, Dea mengatakan, penemuan alat pengkur biomassa karbon tersebut, salah satu prestasi dan karya yang berhasil diraih Untan Pontianak, prestasinya lainnya berupa penemuan sollar cell dan biodiesel.

"Sebenarnya masih banyak lagi, prestasi-prestasi yang dicapai oleh mahasiswa maupun para dosen Untan Pontianak, baik ditingkat nasional maupun internasional," katanya.

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016