Sintang (Antara Kalbar) - Bupati Sintang Jarot Winarno menegaskan siap mendukung investasi termasuk di sektor perkebunan kelapa sawit yang akan masuk ke kabupaten itu namun harus memakmurkan masyarakat, menjamin kelestarian lingkungan dan tidak menimbulkan konflik.
   
"Konflik sawit juga terjadi dimana-mana, tidak hanya di Sintang. Dulu saat saya menjadi ketua tim TP3K, konflik yang terjadi jauh lebih parah dari yang sekarang. Konflik yang terjadi sampai membakar dan menutup portal jalan," kata Jarot di Sintang.
  
 Ia menambahkan, untuk meredam konflik, pihaknya telah melakukan rapat dengan TP3K dan mencarikan solusinya. "Kami juga mengevaluasi semua perizinan perusahaan perkebunan sawit. Bagi perusahaan yang mendapatkan izin pembukaan perkebunan sawit harus sosialisasi pada masyarakat, harus membebaskan lahan dari masyarakat," katanya menegaskan.
   
Namun bagi masyarakat yang tidak mau menyerahkan lahannya, Jarot meminta untuk tidak digarap, termasuk hutan tanaman rakyat dan fasilitas umum.
  
Saat ditanya mengenai kebijakannya terhadap perusahaan perkebunan yang tak taat aturan, Jarot menegaskan, pihaknya sudah pernah memberikan surat peringatan (SP) ke tiga perusahaan di dalam satu konsorsium perkebunan sawit.
   
"Satu group perusahaan perkebunan sawit telah diberikan SP III. Sekarang tinggal menunggu detik—detik pencabutan izin kalau perusahaan itu tidak mau mengindahkan kesempatan terakhir yang diberikan," bebernya tanpa berkenan menyebutkan nama group perusahaan perkebunan sawit yang dimaksudnya.
  
 Mengenai perusahaan bermasalah itu juga diungkapkan Kabag Hukum Setda Sintang, Herkolanus Roni. Ia mengatakan, hasil evaluasi tim teknis Pemkab Sintang ternyata kelas kebun perusahaan yang "menunggu pencabutan izin tersebut" berada di kelas D. Klasifikasi kelas tersebut menunjukan bahwa kebun sawit milik perusahaan tersebut tidak layak.
   
"Sudah beberapa kali perusahaan perkebunan sawit ini kami berikan rekomendasi untuk memperbaiki perkebunannya. Ternyata tidak dilakukan perbaikan," kata Roni.
   
Kemudian infrastruktur perusahaan itu juga kacau, komitmennya dengan masyarakat juga tidak dilaksanakan. Dikatakan dia, tim teknis Pemkab Sintang sudah beberapa kali memberikan rekomendasi pada perusahaan tersebut, ternyata juga tidak ada  perubahan.
   
Sementara konflik dengan masyarakat terus terjadi. karena merasa ditipu. Dari persoalan inilah, Pemkab Sintang kemudian memberikan surat peringatan pertama dengan diberi waktu untuk perbaikan selama empat bulan. Tapi tidak juga dilakukan. Pemkab Sintang kembali memberikan SP 2 sampai SP 3.
   
"Nanti kalau rekomendasi kami ketiga kalinya tidak diindahkan, tentu akan dicabut izin operasionalnya," kata dia.
   
Masih kata Roni, group perkebunan sawit yang terancam dicabut izinnya ini terdiri dari tiga perusahaan. Luasan izin lahannya sekitar 20 ribu hektar namun yang baru digarap sekitar 8 ribu hektar. "Tapi Kebunnya sangat tidak terpelihara," kata Roni yang juga enggan membeberkan nama perusahaan sawit tersebut.
   
Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Sintang, Heri Jambri mengaku cukup kesal dengan masih seringnya timbul konflik antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat. Kata dia, investasi itu, harusnya menguntungkan masyarakat dan menyenangkan semua orang. "Tapi karena intervensi pemerintah daerah yang kurang sehingga sering timbul konflik. Pemerintah seringkali bukan membela rakyat tapi justru di pihak perusahaan. Itulah yang terjadi selama ini," ujar dia.
   
Kata dia, persoalan sebenarnya munculnya konflik investasi adalah keberpihakan pemerintah. Jika pemerintah berpihak pada rakyat, dan tujuan berinvestasi untuk kesejahterakan rakyat, tentu tidak akan ada masalah.
   
Heri Jambri mengatakan dalam pola pembagian lahan saja, masyarakat selalu dirugikan. Banyak perusahaan menerapkan pola 80:20, yaitu 80 untuk perusahaan dan 20 untuk petani. Seharusnya minimalnya 60 : 40, yaitu 60 untuk perusahaan dan 40 untuk petani atau 50 : 50. "Kalau beginikan yang sejahtera perusahaannya, sedangkan masyarakat hanya sebagai kuli saja," kata dia.
   
Masih kata Heri Jambri, kalau dibilang yang punya modal hanya perusahaan, ia membantahnya. "Masyarakat punya modal berupa tanah. Bisakah perusahaan itu tanam sawit di atas kertas, di atas uang? Kan tidak bisa! Sebanyak manapun uangnya tentu tidak bisa ditanam sawit. Jelas sawit itu akan hidup di atas tanah dan tanah itu milik masyarakat," tegasnya.
  
Menurut dia, fungsi pemerintah daerah itu seharusnya membela masyarakat. "You boleh investasi di sini, tapi begini polanya. Nah itu sebenarnya pemimpin yang kami harapkan. Artinya pemimpin ini pro rakyat dan bukan pro investor," katanya.
    

Pewarta: Faiz

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016