Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan, masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil di Indonesia, terancam akan sulit mendapatkan BBM dan gas pasca dikeluarkannya telegram Dirjen Perla Kemenhub RI No. 03/DK/V/16 tanggal 27 Mei 2016.
"Karena telegram Dirjen Perla tersebut terkesan tegas tidak mempertimbangkan adanya tanggung jawab pemerintah yang diamanatkan oleh UU No. 22/2002 tentang Migas, yang menjamin ketersediaan dan distribusi BBM dan gas bagi masyarakat, termasuk masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil yang sedikit penduduknya yang tidak bisa dilayari dengan kapal karena tidak memenuhi persyaratan UU Pelayaran," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, selama ini BBM dan gas untuk penduduk di pulau-pulau kecil tersebut diangkut dengan kapal kecil yang tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam UU Pelayaran.
"Jika telegram itu dilaksanakan sepenuhnya oleh aparat Kemenhub dan instansi terkait, maka rakyat miskin yang ada di pulau-pulau kecil akan `mati` karena tidak ada BBM dan gas buat masak," ungkapnya.
Untuk mengangkut BBM dan gas ke pulau-pulau kecil itu, tidak ada kapal khusus yang memenuhi ketentuan UU Pelayaran, karena jumlah BBM dan gas yang akan diangkut sedikit, katanya.
Disamping itu, di pulau-pulau kecil tersebut juga tidak ada fasilitas dermaga buat sandar kapal dan bongkar muat khusus barang berbahaya sebagaimana yang dipersyaratkan oleh UU Pelayaran.
"Ini kelalaian pemerintah yang harusnya ditutupi dengan cerdas dan bukannya malah semakin menyudutkan kelemahan pemerintah dengan timbulnya telegram Dirjen Perla itu," ujarnya.
Selama ini BBM dan gas untuk pulau-pulau kecil di NKRI diangkut oleh kapal-kapal pelayaran rakyat yang pada dasarnya adalah kapal kecil yang bukan merupakan kapal khusus yang memenuhi persyaratan untuk mengangkut barang berbahaya seperti BBM dan gas tersebut.
"Adanya telegram itu akan menjadi dasar dan pedoman bagi Syahbandar dan aparat terkait untuk melarang kapal yang tidak memenuhi persyaratan untuk tidak boleh mengangkut BBM dan gas, sehingga pasokan BBM dan gas ke pulau-pulau kecil akan terhenti dan rakyat di pulau akan menderita bahkan sama dengan terzolimi akibat peraturan yang dibuat pemerintah itu sendiri," kata Sofyano.
Jadi apakah Dirjen Perla dan atau menteri perhubungan akan tetap "kekeuh" menjalankan peraturan yang berlaku tetapi akan menyebabkan rakyat menjerit dan sengsara karena tidak mendapat BBM dan gas, atau apakah Menhub akan memberi kekhususan dengan kebijakan khusus untuk angkutan BBM dan gas demi dan untuk atas nama kepentingan masyarakat, katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016
"Karena telegram Dirjen Perla tersebut terkesan tegas tidak mempertimbangkan adanya tanggung jawab pemerintah yang diamanatkan oleh UU No. 22/2002 tentang Migas, yang menjamin ketersediaan dan distribusi BBM dan gas bagi masyarakat, termasuk masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil yang sedikit penduduknya yang tidak bisa dilayari dengan kapal karena tidak memenuhi persyaratan UU Pelayaran," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, selama ini BBM dan gas untuk penduduk di pulau-pulau kecil tersebut diangkut dengan kapal kecil yang tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam UU Pelayaran.
"Jika telegram itu dilaksanakan sepenuhnya oleh aparat Kemenhub dan instansi terkait, maka rakyat miskin yang ada di pulau-pulau kecil akan `mati` karena tidak ada BBM dan gas buat masak," ungkapnya.
Untuk mengangkut BBM dan gas ke pulau-pulau kecil itu, tidak ada kapal khusus yang memenuhi ketentuan UU Pelayaran, karena jumlah BBM dan gas yang akan diangkut sedikit, katanya.
Disamping itu, di pulau-pulau kecil tersebut juga tidak ada fasilitas dermaga buat sandar kapal dan bongkar muat khusus barang berbahaya sebagaimana yang dipersyaratkan oleh UU Pelayaran.
"Ini kelalaian pemerintah yang harusnya ditutupi dengan cerdas dan bukannya malah semakin menyudutkan kelemahan pemerintah dengan timbulnya telegram Dirjen Perla itu," ujarnya.
Selama ini BBM dan gas untuk pulau-pulau kecil di NKRI diangkut oleh kapal-kapal pelayaran rakyat yang pada dasarnya adalah kapal kecil yang bukan merupakan kapal khusus yang memenuhi persyaratan untuk mengangkut barang berbahaya seperti BBM dan gas tersebut.
"Adanya telegram itu akan menjadi dasar dan pedoman bagi Syahbandar dan aparat terkait untuk melarang kapal yang tidak memenuhi persyaratan untuk tidak boleh mengangkut BBM dan gas, sehingga pasokan BBM dan gas ke pulau-pulau kecil akan terhenti dan rakyat di pulau akan menderita bahkan sama dengan terzolimi akibat peraturan yang dibuat pemerintah itu sendiri," kata Sofyano.
Jadi apakah Dirjen Perla dan atau menteri perhubungan akan tetap "kekeuh" menjalankan peraturan yang berlaku tetapi akan menyebabkan rakyat menjerit dan sengsara karena tidak mendapat BBM dan gas, atau apakah Menhub akan memberi kekhususan dengan kebijakan khusus untuk angkutan BBM dan gas demi dan untuk atas nama kepentingan masyarakat, katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016