Pontianak (ANTARA) - Pengamat Energi yang juga Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan, sudah saatnya pemerintah mengoreksi harga jual BBM jenis solar subsidi supaya rentang harga jual dengan solar non subsidi tidak terlalu jauh.
"Idealnya rentang harga jual solar subsidi dan non subsidi maksimal Rp1.000 per liter agar tidak jadi incaran untuk disalah gunakan. Sementara sekarang terlalu jauh, yakni Rp5.150 per liter untuk solar subsidi, dan Rp9.500 per liter untuk solar non subsidi," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA di Pontianak, Kamis.
Mengingat keterbatasan jumlah SDM pada BPH Migas untuk melakukan pengawasan khususnya terhadap distribusi solar subsidi harusnya pemerintah meminta agar pihak Polri yang aktif melakukan pengawasan di lapangan.
"Selain itu, kuota solar subsidi harusnya tidak ditentukan berdasarkan per lembaga penyalur (SPBU) seperti yang berlaku saat ini oleh BPH Migas, tetapi per wilayah sehingga jika terjadi kekosongan solar subsidi pada SPBU maka pihak Patra Niaga bisa melakukan kebijakan menambah kuota solar demi tetap terlayaninya kebutuhan solar oleh masyarakat," katanya.
Dia menambahkan, kekosongan solar yang terjadi kurang tepat jika disebut sebagai kelangkaan, karena yang terjadi dan tentunya bisa dibuktikan adalah kekosongan solar subsidi pada beberapa SPBU, dan bukanlah terjadi di seluruh SPBU pada semua kabupaten/kota di propinsi.
Logikanya, menurut dia, jika kekosongan solar subsidi terjadi pada seluruh SPBU yang ada di kabupaten/kota di beberapa propinsi, tentu seluruh media dan elit politik dan elit masyarakat pasti sudah menyuarakannya.
“Saya juga meyakini kekosongan solar subsidi di beberapa SPBU tidaklah berarti bahwa stok BBM solar (B30) di negeri ini menipis atau bermasalah, karena ini bisa dibuktikan dengan tidak terganggunya distribusi atau penjualan solar B30 untuk keperluan industri dan kapal-kapal," katanya.
Jika solar bermasalah tentunya pihak industri dan pelayaran pasti sudah “berteriak”, kata Sofyano.
Agar soal kekosongan solar yang terjadi baru-baru ini tidak dipolitisir dan dramatisasi oleh pihak tertentu maka pihak Pertamina dan juga BPH Migas sebaiknya menyampaikan ke publik, SPBU-SPBU mana saja yang sempat alami kekosongan solar subsidi dan apa penyebabnya, katanya.
Bukankah Pertamina sudah lakukan program digitalisasi juga pada SPBU-SPBU, tentunya masalah kekosongan solar di SPBU sangat mudah dan cepat bisa diketahui terjadinya dan apa penyebabnya dengan digitalisasi yang ada, ujar Sofyano.