Pontianak (ANTARA) - Direktur Puskepi Sofyano Zakaria menyatakan BPH Migas dan Kementerian ESDM perlu mengawasi yang ketat dan melekat terkait kemampuan badan usaha yang ditunjuk menyalurkan solar di saat tingginya harga BBM.
"Di tengah meningkatnya ekonomi yang diikuti meningkatnya penggunaan solar subsidi, maka BPH Migas dan Kementerian ESDM perlu melakukan monitor yang ketat dan melekat terus menerus terkait kemampuan badan usaha yang ditunjuk menyalurkan solar di saat tingginya harga BBM," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulis di Pontianak, Senin.
Menurut dia, jika terbukti ada badan usaha yang belum terbukti menyalurkan solar sesuai jadwal dan volume yang ditetapkan, maka BPH Migas perlu segera membuat kebijakan untuk mengalihkan kuota solar badan usaha tersebut ke badan usaha lainnya agar tidak terjadi masalah “kekurangan” solar subsidi di masyarakat.
"Kecepatan mengambil sikap dan kebijakan terkait penyaluran solar subsidi yang tengah jadi sorotan publik harusnya menjadi prioritas pihak pemerintah termasuk BPH Migas sebagai pihak yang punya kewenangan terkait penyaluran BBM di negeri ini khususnya bbm PSO," ujarnya.
"Kuota solar subsidi tahun 2022 yang telah ditetapkan sebesar 15,1 juta Kilo Liter, harus sepenuhnya tersalur ke masyarakat oleh badan usaha yang telah ditunjuk oleh pemerintah walau harga BBM sedang tinggi sekalipun," ujarnya.
Untuk tahun 2022 badan usaha PT Pertamina Patra Niaga ditetapkan menyalurkan solar subsidi sebanyak 14,9 juta Kilo Liter dan Badan Usaha PT AKR sebesar 186.000 KL atau setara 18,6 miliar liter.
"Jangan sampai terjadi ada badan usaha yang tak sanggup melaksanakan seluruh penyaluran solar subsidi karena tingginya harga BBM sebagaimana yang pernah terjadi di tahun 2019 yang lalu," ungkapnya.
Pada harga jual solar subsidi sebesar Rp5.150/liter terdapat subsidi tetap pemerintah yakni sebesar Rp500/liter, sementara harga keekonomian solar sekitar Rp13.000/liter. Artinya Badan usaha penyalur harus “menalangi” terlebih dahulu selisih harga jual dengan harga keekonomian sekitar Rp.7.800/liter, katanya.
Perlu modal yang sangat besar buat “menalangi” selisih harga tersebut misalnya saja jika Badan Usaha AKR menyalurkan sebanyak 15.000 KL atau 15.000.000 liter per bulan maka setidaknya perbulan dibutuhkan dana talangan sekitar Rp117 miliar.
"Dana talangan ini akan semakin membengkak jika selisih harga tersebut terjadi dan bertahan untuk waktu yang lama. Sementara selisih harga tersebut tergolong sebagai kompensasi yang pembayarannya 'belum' dianggarkan secara pasti pada saat penetapan kuota dilakukan," ujarnya.